Suami Kok Nyuci Baju?

Saya tinggal di gang buntu. Di gang itu terdapat 12 rumah, sama seperti nomor gang kami: XII. Dari belasan rumah itu ada dua unit yang tidak dihuni. Satu rumah baru saja ditinggalkan pengontrak yang habis masa sewa dan satu lagi memang dibiarkan kosong dengan pemilik yang sesekali berkunjung saat akhir pekan. Di ruas jalan buntu ini rumah nomor 3 dari timurlah yang tidak biasa.

Di depan rumah itu sering terpasang sebuah jemuran, tentu dengan beragam baju tergantung setelah dicuci. Setidaknya tiga kali seminggu jemuran dibentangkan di bawah terik matahari dengan seorang lelaki yang itu-itu saja bertugas menjemurnya. Entah karena hobi sehingga sangat menikmatinya atau semata-mata tak ada kesibukan lain yang lebih berarti.

Ketika tetangga ke luar rumah dan mendapati lelaki itu tengah menjemur baju, ada semacam tatapan aneh yang diarahkan kepada tokoh kita ini. Ganjil memang sebab sejauh pengamatan saya hanya dialah lelaki yang doyan mencuci baju, memerasnya di teras, lalu menjemurnya di depan, mepet dengan pagar rumah. Tampangnya lempeng walau menerima tatapan penuh tanya dari orang-orang yang lewat.

Apa salahnya cowok nyuci baju?

Memang aneh di negara ini, perbedaan kerap dilhat sebagai bahan perselisihan bahkan sumber perpecahan. Ketika di negara-negara maju lazim terjadi role reversal atau pertukaran peran dalam ranah domestik, kita di sini masih sibuk mempersoalkan dikotomi tugas pria dan wanita, terutama dalam fungsi keluarga, dan bahkan tak jarang malah mempertegas batas yang potensial memicu perdebatan tak kujung usai.

Jadi tak heran jika orang yang lewat atau tetangga yang berdekatan kemudian mengedarkan pandangan musykil atas kebiasaan itu. Tatapan aneh itu mudah ditafsirkan: kok mau-maunya laki-laki menjemur (dan mungkin sebelumnya mencuci) baju!? Sungguh pekerjaan domestik yang enggak elegan untuk dilakukan, bukan pula menyiratkan gengsi.

Kendati demikian, tak ada sedikit pun rasa risih yang ditunjukkan oleh lelaki itu. Ia tetap tampak menikmati tugas memeras dan menjemur baju walau tak seorang suami pun di gangnya melakukan hal serupa. Tak ada rasa segan atau malu. Ia terus semangat dan malah mungkin menjalaninya sebagai sebentuk kebanggaan.

Alasan suami mencuci baju

Selidik punya selidik, ternyata begini alasannya rajin mencuci dan menjemur baju.

Pertama, pekerjaan utamanya bisa dilakukan di rumah, jauh sebelum tren Work from Home (WfH) marak selama dua tahun belakangan saat pandemi. Hal ini memberinya waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas domestik seperti mencuci dan menyetrika hingga mencuci piring di dapur.

Sayang kan kalau waktu terbuang hanya untuk rebahan sambil TikTokan walau ada juga konten yang bagus? Ia tak peduli ada atau tidak suami lain yang mengerjakan hal itu. Yang jelas, keleluasaan waktu ia syukuri dengan cara mengerjakan hal bermanfaat seperti mencuci.

Alasan kedua, mencuci baju menjadi klangenan tersendiri, hiburan yang menyelingi rutinitas utama mencari rezeki. Momen merendam, mencampurkan detergen cair, mengucek dan memeras, lalu menjemur baju hingga mengumpulkannya saat sudah kering sungguh bisa menenteramkan hati. Mungkin semacam proses terapeutik untuk menekan stres.

Ketiga, dia memang betul menikmatinya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang sangat berarti. Melihat transformasi baju kotor menjadi bersih memberikan nuansa pencerahan yang membuat hidupnya enjoy sehingga tak ada alasan untuk skip dari rutinitas yang bagi kebanyakan orang mungkin menjemukan ini, apalagi dianggap tak lazim bagi seorang suami.

Empat, ia ingin meringankan beban istrinya yang sudah cukup banyak oleh tugas-tugas domestik yang tak kunjung selesai. Menyapu dan mengepel, juga memasak mungkin terlihat sepele tapi manfaatnya sangat penting bagi sebuah keluarga walau jarang disadari signifikansinya.

Bukankah sudah kewajiban istri untuk mengerjakan semua tugas domestik termasuk mencuci baju begitu ia terikat dalam pernikahan? Ia tak setuju dengan dalih itu sepenuhnya patronasi budaya yang sulit ditakar kadar kesahihannya.

Alih-alih menjawab dengan argumen yang valid, ia justru mengaku pernah membaca sebuah buku fikih yang tak mungkin ia lupakan. Dalam buku itu ada seorang ulama yang berpendapat bahwa seorang istri boleh mengutip bayaran atas jerih payah mengerjakan tugas domestik, misalnya mencuci, sebab bukan bagian dari pakta pernikahan.

Jawabannya mengingatkanku pada sosok Muhammad Rasulullah yang tak pernah segan mengerjakan tugas rumah tangga, mulai dari menyapu, menjahit baju, membeli kebutuhan di pasar hingga memperbaiki terompah walau hal-hal ini kerap diidentikkan sebagai tugas yang melekat pada diri perempuan, dalam hal ini istri jika merujuk sebuah keluarga.

Jadi suami kok nyuci baju? “Yo babah…” mengutip jawaban anak-anak seusia SD di sini yang berarti, “Biarin!”

Advertisement

2 Comments

  1. Aku bisa relate dengan si bapak, sebab sejak awal mula menikah aku sudah mencuci baju. Dari anak pertamaku masih bayi sampai kemudian belasan tahun kemudian punya bayi lagi. Aku sama sekali enggak merasa aneh karena sejak kecil mula sudah diajari mencuci baju sendiri oleh Ibu. Apalagi sepanjang hidupku lebih sering ngekos.

    Karena kebiasaan dan merasa enggak ada yang aneh, pas mudik pun aku biasa gantian nyuci baju sama istri. Yang heran tetangga kiri-kanan rumah orang tua. Bahkan sempat ada anak tetangga yang nyeletuk heran pas lihat aku nyuci baju, “Kok, laki-laki nyuci baju? Kan itu tugas perempuan?” Aku ketawa saja.

    Ya, begitulah. Masih banyak yang beranggapan tugas rumah tangga itu domainnya istri belaka. Padahal, suami dan istri itu sama-sama bertanggung jawab. Rumah kotor, cucian baju kotor, piring-gelas kotor, itu semua tanggung jawab bersama-sama dari penghuni rumah. Bukan cuma tanggung jawab istri. Termasuk masak, enggak harus selalu istri.

    Itu mahzab yang aku anut, sih. Hehehe.

    Like

  2. Aku sudah suka banget cuci baju, apalagi kalau udah ada istri nanti bakal banyak bantu-bantu istri untuk mengurus urusan rumah tangga. Yakali semua pekerjaan rumah tangga diserahkan kepada istri, kuingin jadi pelengkap dalam hidupnya tidak hanya menempuh kehidupan setiap hari bersama, tapi juga include dalam setiap pekerjaan, aktivitas, ataupun hal-hal yang tidak mungkin dikerjakan sendiri. Gak ada salahnya kok, malah pekerjaan istri juga jadi bisa lebih ringan kalau seperti itu dibantu sama suaminya hihi

    Liked by 1 person

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s