Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Pepatah lama ini agaknya tepat menggambarkan sepenggal pengalamanku pekan lalu. Sengaja bangun awal dengan maksud ikut shalat tahajud berjemaah di Masjid Namira, masjid megah yang tak pernah sepi pengunjung di Lamongan. Namun, kenyataan tak seindah harapan.
Setelah berpamitan dari istri, aku memacu motor menuju masjid yang terletak di Desa Jotosanur itu. Suara tarhim belum terdengar, jadi kupikir masih ada waktu untuk bergabung dalam qiyamullail. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di Namira menjelang Subuh karena sepi kendaraan.
Rupanya rencanaku meleset. Begitu hendak meninggalkan kompleks perumahan, aku tertahan nyaris 30 menit gara-gara gerbang dikunci sementara satpam berkeliling melakukan pengecekan. Karena hanya ada seorang pertugas yang berjaga, maka pos keamanan pun dikunci—begitu juga dengan pintu keluar-masuk.
Nenek tua dengan plastik putih
Sambil menunggu satpam kembali, kulihat seorang pengendara motor lain datang hendak keluar. Kutaksir usianya 30-an tahun, dengan mantap menunggang Motor CBR atau Kawasaki Ninja—aku tak ingat. Lima menit berselang, muncullah seorang wanita tua dari blok II tak jauh dari pos satpam. Alih-alih ibu, ia lebih tepat kupanggil nenek sebab belakangan kuketahui usianya 70 tahun.
Sambil menjinjing plastik putih entah berisi apa, ia berjalan terseok lemah menuju pintu gerbang. Jelas akan keluar meninggalkan perumahan seperti kami yang sudah lebih dahulu menunggu. Setelah melewati pengendara motor keren, ia menepi dan berujar spontan kepadaku.
“Nak, boleh numpang ke depan?” ujarnya dalam bahasa Jawa ngoko. Ke depan maksudnya tepi jalan raya di sebelah kantor Polsek kota. Dari sana ia akan menyetop becak atau ojek menuju tempat yang ditujunya.
“Boleh, Nek,” jawabku singkat. Kupikir tak ada salahnya membawanya serta, toh aku pasti melewati jalan itu. Selain itu, jarak perumahan ke Polsek sekitar 1,5 km melalui jalanan gelap dengan semak belukar dan tambak di sisi kanan dan kiri. Kasihan juga kalau dia harus berjalan sendirian di gelap malam.
Gereja dekat Gedung Golkar
Saat satpam akhirnya datang, kami pun bebas melenggang. Begitu akan tiba di sebelah Polsek, nenek ini berbisik. “Nak, apa mungkin bisa antar saya ke Ndapur?” tanyanya polos tanpa beban. Aku pun tergoda bertanya balik, “Memangnya nenek mau ke mana?” yang dia jawab bahwa ia hendak menuju gereja di Jalan Kinameng tak jauh dari Gedung Golkar.
Kekalutan segera menyergapku. Kalau kutolak, kasihan betul dia harus menunggu entah berapa lama sebab saat itu tak satu pun terlihat bentor atau pengojek. Sesekali terlihat satu dua motor melaju, sepertinya pedagang yang mau kulakan barang di Pasar Induk Sidoharjo.
Kalau kupenuhi permintaannya, otomatis niatanku ikut shalat malam di Namira bakal pupus sudah. Padahal aku sudah lama menanti kesempatan ini, belum pernah ikut sekali pun menjelang Subuh pada Ahad pagi. Pengin menyerap aura dan momen khusyuk qiyamullail di hari biasa selain Ramadan.
Kenapa kuyakin bakal tertinggal? Sebab Jalan Kinameng yang dituju si nenek ada di sisi utara sedangkan Namira ada di sisi selatan melewati Pasar Sidoharjo. Dengan kalkulasi cepat, aku bakal tiba di Namira sebelum Subuh, yakni ketika shalat malam telah tuntas dikerjakan.
Anak kerja di Surabaya
khirnya kupacu motorku menuju gereja sesuai panduan si nenek. Sambil berdoa ada keajaiban waktunya bakal cukup seperti yang kurencanakan. Di atas motor Supra Fit butut (yang kupinjam dari adik ipar), saya lantas berkenalan singkat.
Setelah memberitahukan nama dan usianya, dia menuturkan bahwa putra kandungnya bekerja di Surabaya. Baru pulang larut malam sehingga ia tak tega membangunkan walaupun si anak sudah menyanggupi pengantaran kalau ia dibangunkan.
“Anaknya enggak ikut ke gereja, Nek?” tanyaku polos.
Berbeda dengan dirinya yang seorang Kristiani, sang putra memeluk agama Islam mengikuti keyakinan sang istri.
“Enggak apa-apa, Nak. Semua bebas asal nyaman,” tuturnya dengan suara datar tapi tegas. Setelah itu ia sempat bercerita tentang mendiang suaminya yang berasal dari Surabaya dan tempat ia dimakamkan—yang ternyata di Makam Cina tak jauh dari Namira.
Jujur aku pun baru tahu ternyata ada pemakaman Cina di Lamongan, termasuk Gereja Shalom yang ada di Jalan Kinameng padahal jalanan kecil itu sering kulewati saat bermotor dari stasiun menuju rumah. Setidaknya ada pengetahuan baru.
Masih ada segelas kopi sangit
Kami pun tiba di depan gereja sesuai arahannya. Dia bilang ada kerabat di dekat sana. Namun ketika pagar gereja sudah terbuka dan lampu-lampu terlihat menyala, ia langsung masuk dan aku tancap gas. Senang ia selamat sampai tujuan.

Sayup-sayup tarhim perlahan menghilang, digantikan azan yang berkumandang dari sejumlah masjid—salah satunya Masjid Agung di alun-alun kota Lamongan. Motor jadul yang kukendarai terdengar sember menyelingi azan dari kejauhan.
Kesempatan tahajud bareng terlewat, biarlah masih ada kesempatan lain—insyaallah. Setidaknya tidak ketinggalan jemaah Subuh dilanjut pengajian Ahad pagi dan sarapan dengan segelas kopi Namira yang sangitnya khas. Alhamdulillaah….

Pasti ada kebaikan dibalik setiap kejadian. Padahal ada 2 motor yang berhenti, eh tapi yang dipilih mas Rudi. Semoga menjadi kebaikan 😊
LikeLike
Alhamdulillah, makasih Mbak. Doa yang baik juga buat Mbak sekeluarga.
LikeLike
Terima kasih orang baik
LikeLike
Saa-sama. Terima kasih sudah mampir.
LikeLike