Dari Cirebon untuk Nusantara: Membangun Ketahanan Pangan dan Kerukunan Berbasis Lingkungan

Udara Desember yang harusnya basah dan sejuk rupanya tak sesuai dugaan. Matahari terasa cukup terik padahal jarum arloji baru menunjukkan pukul 7.30 pagi. Minibus yang saya tumpangi baru saja meninggalkan terminal ketika seorang pengojek menghampiri untuk membawa saya ke sebuah lokasi. Walau baru sekali menjejakkan kaki di wilayah Merbabu Asih, tak sulit menemukan RW 08 yang terletak di Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Warga perumahan dapat dengan mudah mengarahkan kami menuju wilayah itu yang sejak tahun 2013 menjadi kampung binaan Astra.

Segala penat dan kepayahan akibat perjalanan jauh lintas provinsi seketika pupus begitu memasuki Kampung Berseri Astra yang kondang sebagai KBA Karina Merbabu Asih. Kesejukan langsung menyergap saat aneka vegetasi terlihat begitu hijau dan rimbun melingkupi seluruh lorong kampung. Jika Pak Agus Supriono tak menjelaskan, saya nyaris tak percaya bahwa saya tengah berada di sebuah perumahan kota namun tampil begitu asri layaknya perkampungan yang alami. Jalanan yang seluruhnya ditutup dengan paving block itu diselingi lubang biopori di tengah-tengah dan sesekali terlihat sumur resapan yang manfaatnya ternyata sangat luar biasa.

Bersama Pak Agus dan Pak Chaidir, saya dibawa menapaki gang-gang kampung yang memang berseri itu. Tak heran jika Merbabu Asih berkali-kali diganjar penghargaan demi penghargaan seputar pengelolaan lingkungan sebagai manifestasi Program Kampung Iklim (ProKlim) yang dicanangkan oleh pemerintah. Proklim Merbabu Asih dirintis sejak 10 tahun lalu oleh Chaidir dkk akibat keresahan akan busuknya bau sampah di TPS dekat rumahnya. Juga sebagai respons terhadap bencana perubahan iklim yang kerap menimpa Cirebon seperti banjir, longsor, kekeringan, dan penyakit akibat sanitasi. Lambat laun Merbabu Asih terbebas dari banjir dan kini air besar hanya numpang lewat atau—dalam bahasa Pak Agus—kulanuwun saja.

KESABARAN BERBUAH KESADARAN

Pak Agus dan Chaidir tak menampik rasa lelah selama proses memulai hingga menjadi KBA seperti saat ini. Kesabaran ekstra dan istikamah benar-benar dibutuhkan untuk mewujudkan wilayah yang peduli lingkungan. Ketika saya desak untuk membocorkan kiat-kiat menggugah kesadaran warga agar proklim-minded, Agus menuturkan tiga poin yang terus-menerus ia suntikkan kepada para warga hingga ke relung batin mereka. “Satu, sangat tidak bisa dibantah bahwa kita hidup berada di lingkungan hidup. Kedua, laju pertumbuhan sampah lebih cepat daripada laju pertumbuhan penduduk. Ketiga, hanya orang gila yang tidak mau kampungnya bersih.” Pesan-pesan subliminal seperti itu dikemas dalam bentuk infiltrasi saat pertemuan warga secara rutin. Selain itu, pesan-pesan moral mengenai lingkungan juga disampaikan secara kontinu melalui khotbah Jumat.

Saya mencatat setidaknya ada 10 program di Proklim Merbabu Asih yang oleh warganya lebih suka disebut dengan kegiatan. Pemilihan kata “kegiatan” ini sepintas sederhana namun bagi saya sangat genius. Kata kegiatan menyiratkan aktivitas yang mengingatkan warga untuk terus ‘giat’ dalam mengakrabi lingkungan. “Pokoknya jauhkan dari hotmix-minded, Mas!” pesan Pak Agus saat kami meninggalkan baperkam (balai pertemuan kampung). Paving block yang melapisi jalanan kampung itu akan memudahkan air kembali ke tanah dan bisa dimanfaatkan lagi. “Di satu pihak masyarakat jor-joran ngambil air bawah tanah, tetapi belum mau mengembalikan ke bawah tanah,” ujar Pak Agus lebih lanjut.

Biopori dan sumur resapan–sederhana namun sangat berguna/Foto: dok. pribadi

Nah, di sinilah andil besar sumur resapan. “Kita juga di sini enggak ada sumur, mungkin yang menikmati air kita itu para tetangga (luar RW),” imbuh Chaidir. Air yang mereka tampung lewat 17 sumur resapan boleh jadi dipanen oleh warga sekitar Merbabu Asih. “Akhirnya jadi kebaikan banyak banget!” ujar Pak Agus sambil terkekeh. Itulah wujud harmoni lingkungan yang sesungguhnya: kesudian beraksi dan berbagi! Tak ada lagi genangan air apalagi banjir sebab sudah ditanggulangi oleh 118 titik biopori yang juga dimanfaatkan sebagai sarana composting. Adapun sumur resapan sebagian disulap menjadi kolam lele sehingga lebih produktif.

Beberapa titik pemanenan air hujan/Foto: dok. pribadi

Air hujan pun tak begitu saja mereka relakan hilang ke tanah. Air itu dikumpulkan dan dialirkan oleh warga setempat melalui pipa-pipa khusus agar air hujan turun ke sumur yang telah dipersiapkan, antara lain di depan masjid, baperkam, dan lokasi lainnya. Selain bisa dipanen, himpunan air di 4 lokasi itu mampu menjaga kualitas bangunan di sekitarnya sehingga tetap kokoh dan tidak retak. “Kuncinya adalah menjelaskan hal-hal kompleks kepada warga dengan bahasa awam,” jawab Pak Agus saat saya tanya bagaimana respons warga di awal-awal penggagasan rain forest harvesting.

DARI SAMPAH TERBITLAH 152 JUTA

Intinya, semua komponen disulap jadi sumber daya yang membawa berkah. Tak terkecuali sampah. Setelah dipilah-pilah, sampah organik diolah menjadi kompos, sementara sampah nonorganik direkayasa menjadi aneka kerajinan bernilai ekonomi tinggi. Limbah plastik kresek, misalnya, alih-alih dicampakkan begitu saja di tong sampah sebagaimana dilakukan banyak orang, limbah itu dirajut menjadi tas keren dan bernilai ratusan ribu rupiah. Namun berdasarkan kesepakatan bersama, sebagian besar sampah nonorganik itu dikumpulkan untuk dijual.

Dari limbah jadi berharga/Foto: dok. pribadi

Untuk mewadahi pola ini, dibentuklah sebuah bank sampah bernama Bank Sampah Secerah Pagi atau akrab disingkat BSSP. Secerah Pagi ternyata akronim dari Semoga Cepat Rapih Pekarangan Asri Gemerlap Indah. “Bukan hanya nama, tapi doa ini, Mas!” ujar Ibu Dedeh, penanggung jawab bank sampah saat kami mengunjungi lokasi BSSP sore itu. Melihat para warga yang aktif mengelola lingkungan di sini, Secerah Pagi memang nama yang mewakili sebuah antusiasme. Bahwa setiap kegiatan mereka lakoni dengan optimisme dan penuh semangat seperti pendar matahari yang cerah di pagi hari.

Bersatu untuk maju/Foto: dok. pribadi

Biasanya setiap Sabtu pagi atau menurut skedul yang disepakati, petugas BSSP akan berkeliling untuk menjemput sampah, bukan hanya menunggu nasabah menyetor ke markas BSSP. Setelah dipilah, sampah nonorganik kemudian ditimbang dan dicatat dalam buku rekening masing-masing. Uniknya, seluruh warga taat tatkala Pak Agus mengeluarkan infak alias instruksi faksa dengan menetapkan harga jual di bawah pasaran. Uang hasil penjualan sampah diberikan pada penjemputan berikutnya ketika sampah tuntas dijual. Namun kebanyakan warga merelakan saldo mereka demi membesarkan bank sampah. “Di situ benefit yang keren!” ujar Pak Agus dengan suara beratnya. Namun, warga yang membutuhkan tetap dipersilakan mengambil saldo yang ada.

Demi transparansi dan akuntabilitas, warga sepakat mendirikan Koperasi Secerah Pagi. Dari 111 nasabah, 69 di antaranya telah bergabung dalam koperasi tersebut. Berkat usaha bersama itu, kini terkumpul kapital sebesar 152 juta rupiah yang terakumulasi nyaris tanpa modal pada awalnya. Menurut Bu Dedeh, setiap anggota koperasi bisa mengakses pinjaman mulai dari 4 hingga 10 juta tanpa agunan dan proses yang rumit. Pengelolaan dana dikerjakan dengan asas kekeluargaan, maka tenor pengembalian ditentukan sesuai kesepakatan dengan tambahan yang ringan demi membesarkan koperasi mereka sendiri.

Unik dan cantik/Foto: dok. pribadi

Pertumbuhan mereka yang signifikan tak luput dari dukungan PT Asuransi Astra Buana (AAB) cabang Cirebon yang selama ini menyumbangkan sampah kantor mereka untuk BSSP sebagai kontribusi Corporate Social Responsibility (CSR). Selepas menerima sampah nonorganik, BSSP lalu menjualnya dan melaporkan hasil penjualan kepada AAB. Dukungan semacam ini sangat produktif karena bersifat ajek sehingga turut memacu perkembangan bank sampah yang hasilnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan warga binaan terutama dalam program pemberdayaan lingkungan.

Selain itu, Astra juga mendonasikan benih pohon demi menopang gerakan penghijauan dan tersedianya oksigen lebih banyak di Merbabu Asih. Warga mengaku senang atas bantuan ini sebab merasa ada ikatan batin untuk terus tumbuh dalam keramahan lingkungan bersama Astra. Dalam kurun tertentu Astra juga mendorong akselerasi ProKlim, salah satunya dengan membangun sebuah taman yang berfungsi baik secara ekologis maupun estetis.

Ladang oksigen dan simbol perekat persatuan/Foto: dok. pribadi

Taman yang terletak di pintu masuk utama ini bukan hanya wujud komitmen Astra terhadap kelestarian lingkungan sebagaimana tertuang dalam salah satu visi mereka yakni menjadi perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial dan ramah lingkungan. Lebih dari itu, taman ini merupakan simbol asertif yang mengajak siapa saja untuk mempertahankan budaya daerah seperti dilambangkan oleh motif batik mega mendung di dinding taman. Yang tak kalah penting, tulisan Peace of Mind yang tercetak di sebelahnya menyiratkan pesan kuat agar kita menghargai kebinekaan Indonesia yang sudah terwujud dalam bentuk kerukunan warga antaragama di KBA Merbabu Asih.  

Penggunaan kearifan lokal (bahasa daerah) untuk menyampaikan pesan/Foto: dok. pribadi

KETAHANAN PANGAN BUKAN SLOGAN

Saya sempat tak percaya begitu Pak Agus menyebutkan iuran bulanan warga Merbabu Asih hingga kini bertahan pada angka Rp3.000, sementara di perumahan lain mungkin sudah melambung tinggi. “Karena aman di koperasi, aman di bank sampah, aman di sektor pendidikan,” jawab Pak Agus mantap. Para pengunjung atau tamu yang datang secara rombongan biasanya juga menyumbang dana dengan mengisi kotak amal sebagai modal untuk makan siang plus pelatihan di KBA Merbabu Asih. Para tamu dijamu dengan kuliner khas Cirebon sekaligus sebagai media promosi khazanah daerah.

Wujud konsistensi dan mau peduli/Foto: dok. pribadi

Selain kemampuan mereka untuk survive dan mengelola bank sampah hingga mampu menghimpun dana begitu besar yang bermanfaat bagi warga, saya menduga juri dan panelis KBA 2017 menobatkan Merbabu Asih sebagai Kampung Berseri Astra Terbaik Pertama—menyisihkan 5 finalis lain se-Indonesia—adalah berkat upaya seputar ketahanan pangan. Keterbatasan sumber daya alam di perumahan akhirnya memaksa mereka memutar otak dengan menyulap sebuah lahan kosong sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

Lahan ini dimiliki seorang warga yang kemudian disepakati untuk dikelola sebagai kawasan bercocok tanam, termasuk tempat berdirinya greenhouse di mana proses pembenihan dan pembibitan berlangsung. Selain greenhouse, tanah seluas 60 m2 ini ditanami aneka sayuran dan buah yang telah dipanen silih berganti sebanyak 18 kali. Bayam, kangkung, pokcoy, daun jeruk, jagung, terung, cabai, pepaya, jambu, hingga umbi-umbian bisa dinikmati warga tanpa harus dibeli. Ketika warga di tempat lain menjerit karena harga cabai melejit, warga Merbabu Asih justru merasa berlimpahan. Di pojok KRPL bahkan terdapat kolam yang dibuat dari terpal berukuran kira-kira 1×6 meter yang ditanami ikan nila sumbangan dari dinas pertanian.

Pembibitan di dalam green house/Foto: dok. pribadi

Sewaktu berkeliling menyusuri RW seluas 5,8 hektar itu, saya dibuat takjub pada tanam-tanaman hijau yang mengisi seluruh lorong dan rumah warga. Entah berbentuk hidroponik atau ditanam di polybag, warga tampaknya tak mau menyiakan lahan sekecil apa pun di depan rumahnya. Selalu ada deretan tanaman, seperti yang saya lihat di halaman rumah Chaidir. Kangkung, cabai, bawang, kenikir, belimbing, pepaya, kelor, hingga bidara bisa saya temukan tumbuh subur di sana.

Memasok oksigen, menyuplai makanan/Foto: dok. pribadi

Zona oksigen yang telah berdiri di lima lokasi ternyata tak cuma memasok udara segar. Selain memayungi para pejalan dan mengembuskan gas oksigen, konstruksi aneka tanaman rambat itu rupanya didesain sedemikian rupa agar juga menghasilkan manfaat. Maka tepat ucapan Pak Agus bahwa bicara soal ProKlim bukan bicara profit, melainkan benefit. Buah-buahan seperti anggur, markisa, timun jepang, dan daun cincau yang merambati tiang-tiang di lima lokasi itu dapat dipetik oleh mereka yang membutuhkan, seperti timun jepang yang bagus untuk menurunkan tekanan darah tinggi.

Jelaslah bahwa di sini ketahanan pangan sudah menjadi spirit bersama, menjadi kesadaran kolektif, dan menjadi ruh yang solid bukan melulu slogan yang hanya laku sebagai narasi kosong tapi niraplikasi.

HARAPAN PADA MITIGASI LINGKUNGAN

“Bencana kalau tidak ada regenerasi, Mas!” sergah Pak Agus dengan nada serius. Maka dalam konteks pendidikan mitigasi lingkungan sejak dini, dilibatkanlah anak-anak dan remaja dalam berbagai aktivitas ecofriendly. Mitigasi berarti tindakan mengurangi dampak bencana sejak dini, yakni menyuntikkan pemahaman mengenai lingkungan dan terutama dampak perubahan iklim kepada anak-anak.

Sejumlah kegiatan untuk mendidik anak soal lingkungan sejak dini
Sebuah pesan demi masa depan/Foto: dok. pribadi

Saat menjemput sampah ke rumah-rumah, ibu-ibu atau bapak-bapak yang bertugas sering kali diikuti oleh anak-anak. Itulah momentum untuk langsung mengenalkan mereka terhadap sampah dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Sewaktu hari libur, anak-anak kerap dibagi dalam beberapa kelompok dilengkapi alat bersih-bersih lalu ditugaskan untuk keliling kompleks guna membersihkan sampah. Kelompok dengan sampah terbanyak akan mendapat reward. Teknik ini sepertinya sudah tak relevan di Merbabu Asih mengingat sampah nyaris tak terlihat di gang-gang mereka. Tetapi sebagai sebuah konsistensi, kegiatan semacam ini memang perlu terus mereka lakukan.

Belajar sejak dini agar terus sadar diri/Foto: dok. KBA Merbabu Asih

Selain itu, sebulan sekali diadakan posyandu remaja. Para remaja berkumpul di baperkam didampingi oleh petugas UPTD setempat. Ada 20-an remaja yang kini aktif dalam posyandu remaja karena sebagian lain telah berkuliah dan meninggalkan rumah. Selain diajari menimbang badan, mengukur tensi, konsultasi kesehatan, dan mengobrol hal-hal keremajaan, yang paling penting adalah mereka belajar tentang lingkungan hidup. Remaja  harus disadarkan betapa lingkungan sangat berkontribusi pada kesehatan. Melalui pendidikan usia dini mengenai lingkungan, anak-anak akan tumbuh smart and healthy demi memenuhi cita-cita menuju Millenium Development Goals.

Raga bugar, otak segar!/Foto: dok. pribadi

Sebagaimana kalimat populer Latin mens sana in corpore sano, kesehatan otak dan mental tak diabaikan di KBA Merbabu Asih. Sudut baca yang menyatu pada bangunan baperkam adalah sebuah ikhtiar agar anak-anak tumbuh dengan raga yang bugar dan otak yang selalu segar. Berpikiran terbuka dan berwawasan luas agar tidak mudah terprovokasi terutama dalam isu-isu penting mengenai kebangsaan.

BERSATU DALAM NILAI SMART NKRI

Sebagai ketua RW, Pak Agus tak pernah mengklaim pencapaian KBA Merbabu Asih sebagai keberhasilan kepemimpinannya. Dalam bahasa khas Cirebonan ia mengungkapkan bahwa tugas pemimpin memang memimpin, sebagaimana burung yang tiap hari harus berkicau. Itu hal biasa, bukan prestasi. Memang sejak didirikan ProKlim Merbabu Asih tidak pernah berambisi pada penghargaan atau apreasiasi. “Tuhan selalu punya cara untuk mengapresiasi, Mas Rudi. Matematika Tuhan cihui pisan!” Begitu berulang-ulang ia tekankan.

Saling mengenal dan terbiasa bertoleransi

Jelas orientasinya memang bukan imbalan materi atau ukuran duniawi. Hidup harmonis bersama lingkungan dimaknai sebagai perintah yang wajib ia patuhi sesuai ajaran yang ia anut. Uniknya, Pak Agus yang muslim memang dipercaya oleh para warga penganut agama lain untuk menjadi ketua RW, juga penanggung jawab ProKlim. Seperti saya sebut sebelumnya, Merbabu Asih dihuni oleh beberapa pemeluk agama yang berbeda. “Kuncinya bersikap proporsional, adil kepada pemeluk agama lain,” kata Pak Agus agar warga tetap rukun. Pengurus juga memutuskan tidak berpolitik demi menghindari gesekan dengan warga yang berbeda pilihan.

“Tiga komponen yang menurut orang bijak mampu menembus batas ruang dan waktu. Humaniora atau nilai-nilai humanisme, pendidikan, dan lingkungan.” Begitu kutip Pak Agus dan ia percaya radikalisme bisa ditekan lewat kesadaran lingkungan. Sewaktu berkeliling, saya akhirnya membuktikan sendiri kebenaran ucapannya. Dari pintu utama, di sebelah kanan jalan atau seberang Taman Astra, terdapat jalan setapak menuju Vihara Bodhi Jati. Meninggalkan wihara, kami berbelok kanan dan mendapati sebuah pura besar di Jl. Bali. Letaknya berseberangan dengan panti wreda yang dikelola oleh Yayasan Kristiani. Nah dinding pura dan masjid warga kampung ternyata persis berhimpitan.

Harmoni karena sudi memahami/Foto: dok. pribadi

Pagi itu kami berjumpa seorang lelaki yang akrab disapa Pak Haji. Rumahnya yang bersebelahan dengan panti wreda punya pekarangan sangat luas yang dimanfaatkan sebagai tempat memarkir bus sewaktu para pemeluk Hindu mengadakan acara di pura. Para pemeluk agama lain, terutama warga muslim, bertugas menjadi juru parkir dan mengamankan acara. Begitu juga sebaliknya. “Inilah smart NKRI, juga smart environment!” tegas Pak Agus menyebutkan rahasia soliditas kerukunan warga yang bertumpu pada kesadaran mengelola lingkungan hidup yang sama.

Pakta bersama/Foto: dok. pribadi

Maka bukan pemandangan aneh ketika para warga dari berbagai keyakinan berkumpul di baperkam untuk memasak bersama demi menikmati jerih payah mereka dari kawasan rumah pangan lestari. Sayur dan ikan tinggal dipanen, sedangkan beras didapat dari sumbangan. Kerupuk atau pelengkap lain datang sendiri dari warga yang baik hati. Duduk di lantai, mereka pun menyantap makanan bersama beralaskan daun pisang khas kampung. Tanpa peduli suku dan agama, warga bercengkerama dengan gembira dalam kebinekaan yang terjaga, baik anak-anak maupun dewasa.

APRESIASI DAN RAHASIA AKSI

Selain mengaku bergaya nyeleneh dan tak bisa formal, Pak Agus menegaskan bahwa MoU mereka adalah dengan Tuhan. Maka prestasi demi prestasi yang ditorehkan tak membuat mereka tinggi hati lalu menutup diri dari orang lain yang mau belajar. Mulai dari warga perumahan dari kota lain, unsur pemerintah, mahasiswa, hingga akademisi pernah ‘menimba ilmu’ di sini. Bahkan pernah seorang tentor asal Indramayu dan Kuningan belajar di KBA Merbabu Asih lalu kota mereka diganjar Adipura sementara Cirebon tidak. Pak Agus mengaku senang dan selalu berharap agar para tamu bisa menerapkan konsep lebih baik di daerah asal.

Apresiasi juga datang dari mancanegara. Tak kurang tamu-tamu asing dari Malaysia, Australia, Burma, Amerika, Kanada, Inggris, dan Swedia pernah berkunjung dan mengungkapkan ketertarikan mereka terhadap konsep proklim sederhana yang berhasil diaplikasikan di Merbabu Asih. Februari tahun depan tim dari Taiwan akan bertandang dan ngangsu kaweruh di KBA ini.  Walau Pak Agus mengaku bingung tentang keistimewaan Merbabu Asih, saya dapat merinci 5 keunggulan yang membuatnya berbeda dibanding proklim lainnya sebagaimana bisa dibaca pada infografik berikut.

Pak Agus beberapa kali mengucapkan semacam kredo, “Yang rugi tapi ada pahalanya aja kami lakoni, apalagi yang ada untungnya.” Saya patut menduga moto ini akhirnya menjadi value yang terinternaliasi dalam batin masyarakat di wilayahnya. Kelestarian lingkungan bukan hanya meningkatkan AHH  (angka harapan hidup) bagi para manula, tetapi juga modal besar bagi masa depan anak-anak untuk tumbuh sehat dan cerdas. Keyakinan semacam itu telah menjadi kesadaran komunal guna mewujudkan proklim sebagai community-based development yang tak tergantung pada person. “Tak perlu disuruh, secara otomatis mereka akan merasa tak enak buang sampah sembarangan,” ujar Pak Agus.

Kegiatan-kegiatan berbasis lingkungan lalu menjadi energi kolektif untuk merekat persatuan antarpemeluk agama yang berbeda di KBA Merbabu Asih. Semua warga paham bahwa lingkungan hidup yang bersih menentukan terciptanya kerukunan sosial yang dikehendaki. Mereka kian kokoh sebab ditopang oleh kemampuan berdikari soal pangan dan keberlanjutan lingkungan. Bukan berarti tak butuh bantuan, melainkan sanggup bergerak dengan sumber daya yang tersedia—baik SDA maupun SDM.

Dari sanalah mereka akhirnya merasakan manfaat yang unggul berada di lingkungan yang terjaga. Bukan cuma benefit ekonomi berkat besarnya koperasi bank sampah, melainkan terselenggaranya kontinuitas pendidikan bagi anak-anak yang akan melanjutkan tongkat estafet. Jangan sampai anak-anak kelak menuntut para orangtua tentang berkurangnya fungsi ekologis akibat tidak diberikannya pendidikan mitigasi lingkungan yang memadai sejak dini. Regenerasi adalah jawaban yang tak bisa dihindari.

Ke depan Pak Agus menargetkan untuk menuntaskan terbangunnya 60% zona oksigen di seluruh wilayah RW yang terbagi di setiap gang. Kedua, pembangunan gazebo atau semacam pendopo kecil di area menuju wihara dengan diselingi pohon-pohon keras yang juga produktif secara ekonomi. Di gazebo ini siapa saja bisa bertukar pikiran mengenai lingkungan dan pola kerukunan umat beragama dengan lebih santai dan ­terbuka. Untuk target jangka lebih pendek, Pak Agus ingin melanjutkan tersedianya destinasi kuliner tepat di samping taman Astra yang akan menjajakan makanan khas Cirebon seperti nasi jamblang yang siang itu sudah berjualan. Selain merawat menu khas daerah, warga yang terlibat dapat memetik keuntungan ekonomi sembari menghirup sejuknya udara taman.

Semangat Astra untuk memacu kemajuan bangsa, terutama desa

Cerdas watak

Menutup perbincangan kami sore itu, Pak Agus menyimpulkan bahwa pemerintah bisa saja mendirikan pabrik composter besar untuk menangani problem sampah di masyarakat. Selesai! “Namun bukan itu ruhnya. Bagaimana anak-anak bisa cerdas watak dalam mengelola lingkungan, untuk hidup di lingkungan yang bersih.” Saya mengangguk sambil meraih segelas es jeruk segar lalu menenggaknya. “Kalau cerdas otak mah gampang, Mas Rudi, banyak bimbel!” ujarnya lagi sambil melepas pandangan ke teras rumahnya yang penuh sayuran di polybag dan pot-pot.

Saya berusaha menerka pikiran lelaki 50 tahunan ini. Mungkin di benaknya terbayang peradaban Atlantis yang pernah berjaya bak negara utopis lalu punah konon akibat bencana alam berupa gelombang besar yang melahap Atlantis dalam lumpur. Atau boleh jadi kerjapan mata tuanya tengah menatap kilasan sejarah suku Maya yang terkenal selalu hidup harmonis dengan alam namun akhirnya mengalami deforestasi demi memenuhi kebutuhan selama masa-masa sulit. Kekeringan akibat penggundulan hutan turut memperparah masalah lain seperti pergolakan sosial, perang, kelaparan, dan wabah penyakit sehingga mengakhiri peradaban berusia ribuan tahun.

KBA Karina dari Cirebon ini hendak menegaskan bahwa desa tak perlu berubah menjadi kota agar bisa sejahtera. Warga bisa berdaya dengan mengoptimalkan potensi yang ada. Sebagai sebuah kampung yang peduli kelestarian lingkungan, ia layak menjadi model untuk diduplikasi di daerah-daerah lain seantero Nusantara perihal pengelolaan lingkungan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan kesehatan warga setempat dengan dukungan ketahanan pangan yang diolah secara mandiri berkat sinergi sumber daya manusia dari berbagai agama/keyakinan yang setia pada cita-cita persatuan Indonesia. Kerukunan bebasis lingkungan, kenapa tidak? 

*) Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Anugerah Pewarta Astra 2018

Advertisement

39 Comments

  1. Jadi inget lingkungan rumah ortu di made karyo gang 7 Pak. Dan emang, anak-anak di lingkungan sana jadi sadar lingkungan banget. Beda jauh sama tempat kontrakan saya sekarang. Padahal di tempat ortu, dulu awal niatnya buat ikutan lomba. Tapi sekarang jadi bikin banyak orang di sana sadar lungkungan.

    Like

    1. Bagus begitu ya Ka akhirnya jadi kesadaran kebersama untuk menjaga lingkungan karena memang tinggal di lingkungan yang bersih kan lebih nyaman dan kondusif untuk berkembang.

      Like

  2. Ulasan yang begitu menarikk mas. Saluttt banget sama KBA Merbabu Asih, saya pribadi suka dan mendukung sekali program KBA. Makin banyak masyarakat yang peduli pentingnya menjada lingkungan, mengolah sampah dan memanfaatkan sebaik mungkin potensi air hujan melalui sumur resapan dan rain water harvesting. Statement dari Pak agus juga sangat dalam, yang rugi ada pahalanya saja dilakoni apalagi yang banyak untungnya ya. Suksesss mas, semogaaa banyak manfaat yang tersalurkan dari artikel ini. Aamiin 🙂

    Like

    1. Sepakat, banyak ucapan Pak Agus yang inspiratif dan bikin aku mikir juga, Lucky. Problem lingkungan kan memang baru terasa kalau sudah terjadi musibah. Semoga banyak yang tergerak untuk meniru langkah KBA Merbabu Asih lewat liputan sederhana ini. Makasih, L, apa kabar Korea? Kapan balik ke Indonesia? Sukses selalu ya ….

      Like

    1. Sama, Lamongan juga begitu, Pu. Kalau musim kemarau air jadi langka, tapi pas musim hujan malah kebanjiran. Manajemen air belum dianggap serius sih padahal kalau meniru KBA Merbabu Asih air bisa disimpan dan dipanen kapan saja sesuai kebutuhan, tanpa khawatir meluber sebagai banjir. Ayo Pu kamu yang memulai gerakan kecil di sekitarmu. Kapan balik ke Jogja?

      Like

  3. Kalo aq baca dari sini & aq cermati, sepertinya pekerjaan sehari-hari warganya di rumah aja mengelola kampung ya? Beda sama warga2 perumahan atau penghuni apartemen yg banyak urbannya & kerja kantoran pergi petang pulang malam. Kalo di kampung tempat tinggal aq di Gresik, baru tgl 29 Des kemarin ada acara festival Badhogan & Budaya. Jd warga di sini matapencaharian Mayoritas jg di rumah saja. Tp yg diunggulkan itu kulinernya. Bukan pelestarian lingkungan begini.

    Like

    1. Untuk ibu-ibu memang demikian, Mbak Widya, kebanyakan ibu rumah tangga yang tinggal di rumah. Namun untuk kaum bapak sama saja kok dengan masyarakat urban lain yang bekerja kantoran dari pagi sampai sore, bahkan ada yang sampai malam banget. Karena sudah jadi program bersama, jadi ya jalannya enjoy aja–saya nangkapnya gitu. Boleh juga tuh Mbak potensi kuliner daerah digali dan diberdayakan. Tambah penghasilan plus merawat budaya setempat.

      Like

  4. Keren banget Merbabu Asih… gak sia2 saling gotong royong, istiqomah dalam mewujudkan lingkungan yg asri, semoga hal – hal positif seperti ini meluas dan menular ke tempat lain, supaya Indonesiaku makin asri dan indah 😀

    Like

    1. Iya, Mbak. Kekompakan mereka layak ditiru karena isu lingkungan tidak bisa menunggu. Pas ada bencana, baru deh sadar diri. Kan jangan sampai begitu ya. Kalau Indonesia asri, harapannya para penduduknya ikutan berpikir cemerlang dan bekerja sama untuk kebaikan masa depan kita.

      Like

  5. Harusnya kemarin aq ikutan neh .. lumayan ilmu dan informasinya bisa aq praktekkan di kampung ku. Meskipun gak ada niat buat ikutan lomba tapi minimal bisa mencontek konsepnya buat diterapkan di Desaku

    Like

    1. Coba kemarin ikutan, Mbak. Saya juga dah mulai merencanakan bikin zona oksigen di dekat rumah, di samping saung lus di ujung gagng buntu. Tanam paria sama daun cincau asyik juga nih. Alpukat juga makin subur 🙂

      Like

  6. Aku udah lama pengin ke Merbabu Asih ini, Mas. Tapi qodarulloh belum rezeki sepertinya. Kegiatan di Merbabu Asih sangat menginspirasi, tak hanya dari segi kepeduliannya tapi juga manfaatnya untuk sesama. Kreatifitas dan penanganan masalah yang benar-benar tuntas dan memudahkan kehidupan warga. Semoga suatu saat kampung-kampung lain bisa menduplikasi semangat KBA yang ada di negeri ini.

    Like

    1. Iya, Mbak. Memang kampungnya sangat inspiratif. Saya mau tiru beberapa bagian yang mudah dulu seperti zona oksigen. Semoga kampung di daerah lain bisa belajar dan meniru semangat KBA agar makin maju dan sejahtera.

      Like

  7. Luarrr biasa, Mas Rudi. Ulasannya kompliitt. Btw, yang paling mengena di hati saya adalah di bagian kerukunan antar umat beragamanya. Memang sudah seharusnya untuk urusan lingkungan dan kelangsungan hidup yang damai, tidak perlu memandang seseorang dari agamanya. Sayangnya mental itu belum terbentuk di semua daerah di Indonesia. Semoga KBA Merbabu Asih ini bisa menjadi contoh yang baik bagi kampung2 lainnya di Indonesia, khususnya dalam kerukunan antar warga.

    Gud lak, Mas. Salam Hangat dari BangFirman.com 😀

    Like

    1. Iya, Mas. Sudah sangat mendesak untuk saling memahami dan bertoleransi demi harmoni hidup bersama karena memang kan kita tinggal di lingkungan yang sama. Ekosistem bisa menyatukan kita dari bebrbagai latar belakang, termasuk agama. Terima kasih sudah berkenan singgah ya Mas Firman.

      Like

  8. Wah aku harus berkunjung kesana nih tampaknya, sangat menginspirasi, apalagi sudah dipikirkan regenerasinya. Jadi walaupun yang tua tiada yang muda sudah siap melanjutkan programnya. Ayo diconto buat kampung kita Mas!

    Like

  9. Informatif banget mas, sama deketnya dgn TPA seperti Keputih yg kutulis yak? Salut banget sama kata2 yang terucap dari Pak Agus, jadi mikir ttg kedalaman berpikirnya. Keliatan sekali melakukan semuanya lillahi ta’ala, insyaa Allah. Keren banget ini kampung, salah satunay lewat pemimpin yg amanah dan antusias warga. Salut soal regenerasinya juga. Kalo kerukunan emang sdh sewajarnya begitu ya. Dan rasanya hampir semuanya kl soal toleransi, masyarakat di kampung2 itu udah dr dulu rukun, hehe 🙂

    Barakallahu mas, trims udah menuliskan ttg ini.

    Like

  10. “Bumi semakin panas, jangan kipas-kipas saja!” Tulisan dalam mural ini sih yang bikin aku tersentuh banget, sekaligus tersadar: Apa yang sudah dilakukan untuk menyelamatkan bumi? Beberapa hari ini malah lihat pohon-pohon di sekitar rumah mertua ditebangi karena satu dan lain hal, dan nggak berdaya melakukan apa-apa. Sayang sekali, salah satu pohon usianya mencapai 100 tahun. Salut sekali atas upaya yang dilakukan oleh bapak-bapak di KBA Karina Merbabu Asih ini. Mereka sadar betul bahwa bumi ini adalah titipan anak cucu kita, maka harus dijaga baik-baik dengan segenap daya dan upaya.

    Anyway, good luck ya, Mas.

    Like

    1. Semangat warga Merbabu Asih memang layak diacungi jempol, Mas. Konsistensi itu yang sulit, kalau bikin sih gampang, begitu ujar istri Pak Agus.
      Wah, sayang betul Mas ada pohon setua 100 tahun tapi ditebang, duh! Masih banyak PR buat menyadarkan warga mana pun tentang potensi pohon dan aneka vegetasi buat kehidupan kita.

      Liked by 1 person

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s