Selama masa pemulihan sehabis sakit, otak rasanya tidak bersahabat diajak menulis yang agak berat, salah satunya artikel lomba yang menjadi favorit saya. Karena badan tidak fit, akhir Desember lalu beberapa draft lomba terbengkalai karena pikiran tak mau berkompromi. Mikir berat dikit rasanya susah, bawannya plonga-plongo dan akhirnya mentok baca buku buat mengisi waktu.
Grup-grup WhatsApp yang biasanya menjadi sarana hiburan receh pun malas saya akses. Rasanya belum antusias untuk bertukar pesan dengan teman-teman berbagai komunitas. Demi memanasi otak, saya pun mendaftar Kelas Konten dalam rangkaian Festival Literasi Digital (FLD) yang dihelat Kumpulan Emak Blogger Sabtu 16 Januari pekan lalu. Acara yang didukung oleh Kominfo dan Danone ini bertajuk “Berdaya dan Berbudaya”, sebuah tema yang sangat relevan dengan kondisi medsos saat ini.
Betapa tidak, pada berbagai kesempatan warganet begitu bersemangat membagikan konten atau berita tapi kerap tak disaring terlebih dahulu sehingga alih-alih ikut membangun peradaban perilaku mereka justru menghancurkan budaya dan membuat orang lain teperdaya. Bukan membuat orang berdaya, tapi justru tak berdaya dengan konten yang asal viral tanpa basis data tepercaya.

Pemred Kompas bagikan tips bernas
Saya pun bersiap di depan laptop menjelang pukul 1 siang untuk mendengarkan Wisnu Nugroho berbicara dalam Kelas Blogging bertema “Curi Perhatian Pembaca dengan Storytelling yang Persuasif”. Pemimpin redaksi Kompas.com itu membuka presentasinya dengan menuturkan sepenggal pengalaman saat menghadiri Asian Media Forum di Singapura di penghujung 2019 silam.
Dalam workshop yang berlangsung tiga hari tersebut seorang social media adviser asal New York menyebutkan pendapat menarik bahwa tiga ranah digital berikut akan tetap eksis selama beberapa tahun mendatang, yakni blogging, newsletter, dan podcast. Hal ini menampik kekhawatiran sebagian kawan bloger yang menganggap blogging akan menemukan senja kala seiring meroketnya pamor Youtube.
Prediksi itu terbukti akurat. Kini bloger tetap mendapat tempat di jagat maya. Tak sedikit brand atau pemilik produk yang memercayai bloger untuk membantu membangun digital presence merek mereka di belantara Internet. Belum lagi bloger yang aktif menyuarakan isu sosial atau lingkungan, publik tetap mendengarkan suara mereka dengan cara ajek mengakses blog-blog terkait.
Sedangkan newsletter dan podcast juga tetap kuat bercokol di benak kita sebagai masyarakat modern saat ini. Saya pribadi berlangganan pada banyak sekali website korporat atau portal edukasi yang rutin mengirimkan kabar lewat newsletter di bilik email. Promosi produk baru, survei, kuis, unduhan ebook gratis, semuanya bisa disampaikan lewat newsletter dengan tampilan tak kalah menarik dan pergerakan yang cepat–nyaris setiap hari.
Podcast juga terus menunjukkan pengaruh signifikan di kalangan millenial dan gen Z. Platform seperti AnchorFM dan Audacity makin digemari untuk membuat ‘siaran radio’ sesuka hati. Belum lagi kanal podcast yang sudah mapan seperti Ted Talks, penggemar fanatiknya sangat banyak, termasuk saya pribadi. Beberapa teman bloger sekarang memilih lebih aktif bikin podcast ketimbang ngeblog karena dirasa lebih praktis. Ada yang bahkan berpendapat bahwa podcast adalah the next level of blogging, entah sebagai pengganti atau pelengkap.
Dalam konteks blogging, Wisnu yang akrab disapa Mas Inu meyakinkan bahwa blogging jelas masih menjanjikan selama bloger memiliki ciri dan kredibilitas dalam menulis. Salah satu hal yang mesti diingat saat menulis adalah pemahaman terhadap media yang menjadi wadah tulisan sebab bentuk media akan menentukan jenis tulisan yang akan diproduksi. Bloger dan jurnalis, misalnya, tentu menghasilkan ragam tulisan yang berbeda.

Mulai dengan sikap skeptis
Yang tak boleh dilupakan adalah skeptisme sebagai pijakan awal saat akan menulis. Mas Inu mendorong agar bloger mencari dan menguji kebenaran dari topik yang akan ditulis. Mulai dengan meragukan untuk bisa menemukan kebaruan dan sisi paling menarik untuk menyentuh hati pembaca. Tahap ini sangat krusial.
Selain itu, tulisan harus dilandasi dengan cara berpikir kritis (critical thinking) agar punya ruh yang kuat dengan ulasan yang solid. Untuk bisa diterima dengan baik tulisan juga harus memiliki clarity atau kejelasan sehingga gagasan yang kita angkat bisa sampai kepada pembaca sesuai tujuan. Tedas yakni tajam dan tandas berarti tuntas, begitulah harusnya sebuah tulisan.
“Bagaimana menyajikan tulisan yang menarik dengan storytelling yang memikat?” ujar Dian peserta asal Sidoarjo dalam sesi tanya jawab. Mas Inu menegaskan bahwa penulis harus memastikan diri punya ketertarikan kuat pada topik yang ia tulis. Mana mungkin pembaca akan tertarik jika kita sendiri menulis setengah hati. Hilangkan kebingungan saat menulis sebab aura itu bisa dirasakan oleh pembaca nantinya.

Jurnalis dan bloger kerap berhadapan dengan tenggat atau deadline pekerjaan. Untuk menyiasati tulisan tetap bagus saat dikejar tenggat, Inu mengusulkan agar kita menulis secara bertahap. Rampungkan tulisan setidaknya 80% menjelang tenggat sehingga tidak kewalahan saat tenggat datang. Dengan demikian, menit-menit akhir bisa kita manfaatkan untuk menyunting tulisan menjadi lebih matang.
Gunakan analogi
Wisnu berpesan bahwa menjadi bloger atau penulis pada umumnya haruslah berpikiran terbuka, termasuk terbuka dalam menerima kritik atau komentar yang berseberangan dengan konten tulisan. Seringkali ide brilian justru muncul dari komentar atau kritik pembaca yang mungkin terkesan ‘menyerang’. Inu menuturkan hal ini saat menjawab pertanyaan Vicky emak bloger asal Surabaya yang mengeluhkan adanya bloger yang enggan mendapat komentar ‘berbeda’ terhadap ulasan produk berbayar.
Yang jelas, tulisan yang diramu degan gaya storytelling memang akan lebih memikat dan menyentuh pembaca sebab semua orang hakikatnya menyukai cerita. Ada satu kiat yang bisa dicoba. Alih-alih menampilkan data yang sarat angka, kita bisa menggunakan analogi yang mudah dipahami oleh pembaca dengan syarat kita betul-betul memahami data tersebut.
“Pembaca akan sulit membayangkan betapa horornya lumpur Lapindo yang menggenangi banyak wilayah di Sidoarjo. Kita bisa pakai analogi sekian ratus gajah yang masuk suatu wilayah untuk menggambarkan timbunan lumpur panas itu ketimbang pakai data angka yanag sulit dibayangkan dengan mudah,” ujar Inu memberi contoh.
Writer versus typist
“Kita ini writer, bukan typer [sic!], karena keduanya berbeda,” kata Inu dengan mantap. Sebagai penulis tugas kita adalah mengolah bahan dan data dari klien atau pemasok materi. Penulis harus jeli salah satunya jika menyusun tulisan berbasis press release dengan angle yang unik dan pembuka paragraf yg kuat. Berbeda dengan typist alias tukang ketik yang hanya menggabungkan data dan bahan tanpa diolah dengan cerdas. Tak peduli tulisan itu bunyi atau tidak, yang penting selesai.
Webinar bersama KEB siang itu memang sangat bergizi, “daging” semua kata anak zaman sekarang. Sayang sekali acara berlangsung cukup cepat, hanya satu jam yang menyisakan sejumlah pertanyaan belum terjawab, termasuk pertanyaan yang saya ajukan. Namun secara umum pertanyaan saya sebenarnya turut terjawab saat ia mengelaborasi jawaban untuk pertanyaan peserta lain di awal.
Lebih membahagiakan lagi, Mas Inu membuka kesempatan bagi kami para peserta untuk mengajukan pertanyaan seputar tema hari itu lewat pesan di Instagram. Asyik banget kan?
Saya gembira bisa mengikuti acara singkat yang sangat bermanfaat. Rasanya saraf-saraf kreatif langsung tergerak untuk kembali bermain di atas papan ketik laptop. Semangat membuncah lagi begitu Kelas Konten berakhir. Menutup acara, Wisnu merespons positif sesi belajar tersebut karena para peserta yang didominasi perempuan (kecuali saya) ternyata sangat antusias.
Ia berpesan bahwa perempuan punya peran dan punya posisi tawar yang kuat dalam kehidupan sosial, lebih-lebih selama masa pandemi saat ini. Wanita jadi tumpuan terutama selama masa WFH dan PJJ yang membuktikan bahwa kehidupan kita memang tak bisa steril dari kontribusi mereka. Oleh karena itu, suarakanlah pendapat kalian di jagat maya, wahai bloger/penulis wanita!
Selamat ulang tahun yang ke-9 buat Kumpulan Emak Bloger! Semoga selalu kreatif dan produktif dalam menggerakkan para emak, para wanita untuk terus berdaya dan berbudaya–demi membangun peradaban dan kemajuan bagi umat manusia seluruhnya.
Joss markijosss!! Aku ga ikut zoom meeting nya, ntar dah nunggu ulasan Dari emak²
Ehhh, ternyata bapack² yg menyajikan artikel se-renyah ini.
Semoga sehaatttt selalu ya Mas Rudi dan kita semuaaaaa
LikeLike
Alhamdulillah, semoga bermanfaat ya Mbak.
LikeLike
Thank you mas Rudi. Artikelnya renyah sekali. Saya jadi ada ide buat belajar story’ telling lagi nih. Aku izin bagikan ke komunitas ya.
LikeLike
Alhamdulillah, silakan dibagikan, Mbak, semoga bermanfaat.
LikeLike
Asli materinya daging semua. Bener sih, sikap skeptis dan selalu ingin tahu ini bagus banget untuk artikel yang akan ditulis ya mas. Jadi pembahasannya mendalam gitu. Great post!
LikeLike
Iya, Sol. Sangat bermutu, bisa langsung diaplikasikan pas kita menulis. Storytelling bisa membantu tulisan kita dibaca banyak orang sampai tuntas.
LikeLike
Penulis itu kudu open minded, critical thinking serta passion terhadap temanya ya. dan gak boleh setengah hati. biar tulisan itu ada jiwanya ya.
Thanks ulasannya mas, ulasan yg sangat renyah sekali untuk dibaca 🙂
LikeLike
Betul, Mbak Oline. Tanpa pikiran kritis tulisan tak akan bernyawa, dan tanpa pikiran terbuka, tulisan akan dangkal karena tak kaya dengan perspektif dari orang lain. Semoga bermanfaat ya! 🙂
LikeLike
Kayaknya sy masih tipe typist 🙂
LikeLike
Semoga nanti bisa naik ke tingkat writer ya Kak.
LikeLike
Baru belajar ngeblog, ternyata stortelling sangat ampuh ya buat menyampaikan pesan. Makasih info dan kiatnya!
LikeLiked by 1 person
Kudu belajar terus, Kak, biar tulisan makin memikat. Yuk semangat!
LikeLike
ketinggalan acara ini kayaknya waktu itu
materinya padahal baguss
LikeLiked by 1 person
Iya, Kak. Sangat mencerahkan.
LikeLike