Dua Wanita Pahlawan Keluarga

2 wanita

Mengenang International Women’s Day, izinkan saya bercerita sekilas tentang sepenggal fragmen sewaktu kami masih tinggal di Bogor. Kami pernah dua tahun memproduksi wingko babat dan mengerjakannya sendiri: saya dan istri. Saya bertugas mendistribusikan pesanan sedangkan istri mendapat jatah berpanas ria di depan tungku.

Sungguh berat mendapatkan tenaga lepas untuk memanggang, maka saya pun tergerak untuk ikut memanggang saat istri capai atau tidak fit. Produksi harus tetap berjalan meski salah satu dari kami sakit. Pada kondisi demikian, saya berarti punya tugas rangkap: membeli bahan di pasar, mengadon, memanggang, dan mengantarkan pesanan. Sesekali kami menyewa jasa kurir untuk mengantar pesanan.

Empat cetakan dan kecermatan

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menduplikasi cara memanggang wingko yang kecokelatan dan menggoda. Kendala baru terasa ketika pesanan membanjir hingga ribuan pieces. Seiring waktu berjalan, jumlah pelanggan kami memang bertambah, tentu dengan volume pesanan yang juga meningkat. Dua tungku kompor dan dua cetakan tidak lagi memadai untuk memenuhi pesanan. Sudah kami coba untuk memanggangnya dalam oven, hasil tetap tidak optimal. Maka kami putuskan membeli kompor lagi.

Jadilah ada empat tungku dengan empat cetakan baja. Sejak awal menambah alat tempur, saya sudah ragu apakah bisa memanggang wingko dalam empat cetakan sekaligus. Memasak wingko dengan panggangan di atas api bukan perkara sepele. Api harus pas, porsi adonan tuang harus presisi, waktu membalik tak boleh terlambat atau terlalu cepat, jangan sampai gosong, dan yang tak kalah penting: taburan wijen di kedua sisi tak boleh terlewatkan.

Namun istri saya memupuskan keraguan saya. Dengan dua tangan, ia terbukti lincah menguasai medan pertempuran: empat tungku dengan empat cetakan ditaklukkan semudah membalikkan tangan. Tap tap tap, wingko demi wingko berpindah dari cetakan superpanas menuju tampah bambu di belakang. Nah, saat istri harus mandi atau shalat, saya tentu harus maju menggantikan sebab kompor tak boleh dimatikan selama proses memasak. Kalau itu terjadi, bisa dipastikan jeda istirahat akan mengancam volume pesanan yang harus dipenuhi.

Sebagai lelaki, saya tak gentar mengambil posisinya memasak wingko selama istirahat. Namun tekad dan kenyataan nyatanya tidak selalu seirama. Walau sudah kusaksikan cara menuang adonan, teknik membalik, kecekatan tangan saat memindahkan wingko matang, hingga kadar olesan margarin di atas cetakan—terbukti saya masih gagap di awal-awal mencobanya.

Pelajaran soal produktivitas

Tak jarang beberapa wingko harus mendarat di atas tampah dalam keadaan gosong. Kalaupun matang sempurna, kadang ada satu sisi yang terlewat tidak ditaburi wijen. Kasus lainnya, wijen dan kematangan oke, tetapi bentuk wingko menjadi amburadul lantaran waktu atau cara membalik yang tidak presisi. Ada saja kendalanya. Bahkan saat sudah lama berlatih pun, tetap saja hasil akhir tetap jempolan karya istri. Bentuknya gendut dan lucu, wijen tersebar apik, dan kematangan sangat menggoda.

Saya memetik pelajaran tentang produktivitas. Mengerjakan berbagai hal pada saat bersamaan dengan kualitas yang tetap terjaga. Pelajaran soal multitasking paling gamblang yang bisa saya tiru. Faktanya, tak sedikit hal-hal yang tampak sederhana di mata kita ternyata begitu unggul saat di-handle oleh kaum wanita.

Merawat rumah, apalagi plus anak di dalamnya, jangan pernah dipandang sebelah mata. Banyak pekerjaan domestik yang terlihat remeh tapi tak ada habisnya. Namun wanita jelas bukan hanya jago dalam urusan pekerjaan rumah tangga saja. Sebagaimana istri saya yang bisa menundukkan tantangan empat tungku dengan dua tangan demi menghasilkan wingko berkualitas, saya punya kisah nyata lain yang cocok sekali mempertegas produktivitas wanita sehingga tak ada alasan untuk underestimate mereka.

Berawal dari utang

SEBUT SAJA Bu Fahmi. Meski kalem, Bu Fahmi ternyata seorang wanita yang tangguh. Berdasarkan penuturan Pak Fahmi, saya baru tahu bahwa mereka pernah terlilit utang yang cukup besar bahkan melibatkan debt collector. Karena tak juga sanggup melunasi utangnya, Pak Fahmi sempat didatangi debt collector dan bahkan siap dipukuli karena sudah pasrah tak punya uang lagi. Titik balik terjadi saat Pak Fahmi dan keluarga memutuskan pindah ke Bogor. Bu Fahmilah yang menjadi penyelamat keluarganya!

Setelah melahirkan anak terakhir, Bu Fahmi belajar membuat kue dari buku resep lalu bertekad menjualnya sebagai sumber pendapatan keluarga. Dengan tertatih selepas melahirkan, ia berjalan menyusuri jalan untuk menitipkan kue buatannya di toko-toko yang potensial. Penolakan dan proses belajar mewarnai keluarga mereka. Seiring kemampuannya membuat jenis kue bertambah, toko-toko yang menjual olahannya juga bertambah, ada pula pelanggan yang langsung memesan kepadanya, baik keluarga maupun kantor.

Puluhan juta

Kini kerja kerasnya berbuah manis. Saya terperangah saat Pak Fahmi memberi gambaran omset yang telah mencapai puluhan juta rupiah setiap bulan. Dahulu ia bekerja di kantor namun harus terjerat utang hingga hampir dihajar debt collector. Dengan kebebasan waktu yang lebih fleksibel, kini penghasilannya jauh melampaui pekerjaannya semula. Bahkan tak jarang mereka menolak pesanan jika sedang overload.

Dengan bantuan tenaga tetangganya, kini mereka membuka lapak kue sendiri di beberapa titik strategis di Bogor. Semua terjadi berawal dari kegigihan Bu Fahmi, wanita tangguh yang tak gentar menghadapi hidup—bahkan mungkin saat jahitan pascalahiran masih terasa nyeri.

Tak ada alasan bagi saya untuk mengakui dua wanita ini sebagai sosok inspiratif. Mereka mungkin anonim bagi banyak orang sebab bukan figur publik atau selebritas. Saya tak malu untuk mengangkat topi terhadap produktivitas, kreativitas, dan mentalitas kaum wanita sebagai petarung sejati yang tak pernah mau ditaklukkan kehidupan.

Dalam tulisan lain pada blog ini saya pernah mengangkat 10 wanita tangguh yang saya juluki sebagai perempuan penembus kabut. Dengan keterbatasan dan kemauan, mereka menjadi pahlawan dengan caranya sendiri—setidaknya bagi keluarga terutama anak-anak. Happy International Women’s Day, BBC Mania!

6 Comments

  1. Wanita-wanita luar biasa, terutama istri dan ibu kita. Aku punya pengalaman serupa tapi tak sama. Sejak kecil sudah dibiasakan Ibu memasak. Berawal dari hanya dititipi, “Nanti kalau sudah sekian lama nasinya diangkat, nanti kalau sudah mendidih sayurannya dimasukkan, dll.” aku akhirnya bisa memasak masakan dasar. Memasak nasi, sayur bening, sop, aneka oseng-oseng tergantung bahan yang ada. Cuma meski terbiasa masak sejak ngekos di jaman SMA dan berlanjut saat kuliah, cita rasa masakanku kalah jauh sama istri. Memang memasak itu melibatkan banyak faktor: api, perpaduan bahan dan bumbu, takaran, durasi, dan kita laki-laki suka mengabaikan salah satunya. Hahaha.

    Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s