Bisa dibayangkan betapa beratnya hidup ketika muncul krisis politik atau krisis ekonomi atau saat terjadi bencana alam, lalu kita harus kehilangan rumah dan bisnis kita musnah. Atau kita mengalami kecelakaan dan terpaksa kehilangan lengan atau kaki yang selama ini kita andalkan. Kita selalu membayangkan bisa membesarkan dan mengasuh anak-anak namun Tuhan tak kunjung mengaruniakan seorang anak pun kepada kita.
Atau mungkin kita punya anak tetapi ia lahir dalam kondisi cacat, baik fisik maupun mental. Kita terhenyak saat mendapati pasangan ternyata berselingkuh. Kasus lain, kita mendadak menderita sakit serius yang kronis. Atau seseorang yang kita sayangi bergegas meninggalkan kita untuk selamanya. Intinya dalam semua kejadian itu Tuhan tampaknya hendak menghancurkan hati kita.
Maka orang-orang yang didera masalah semacam itu kemudian tergoda untuk bertanya-tanya: bagaimana mungkin semua musibah itu bisa terjadi padahal Tuhan itu ada?
Masalah adalah peluang
Sebagai manusia biasa, saya pun tak terbebas dari godaan begitu. Keterbatasan dan kesulitan demi kesulitan seolah sangat berat sehingga mendorong untuk berpikir bahwa saya istimewa lantaran menerima semua musibah itu—ibarat seorang martir yang layak mendapatkan simpati dan penghargaan setiap orang.
Padahal, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Sultan Abdulhameed dalam bukunya The Quran and the Life of Excellence, setiap masalah sebenarnya adalah peluang. Betapa banyak dari kita yang mengeluhkan hal-hal yang saya petik dari buku Abdulhameed pada pembukaan tulisan ini.
Ketika masalah datang, kita terlalu fokus pada persoalan itu sehingga lupa pada solusi yang menyertai setiap kesulitan. Dalam menafsirkan surat Al-Insyirah, Abdulhameed menegaskan bahwa solusi bukan hadir setelah masalah tetapi sudah tersedia saat masalah itu hadir. Kita kerap tak mampu melihat solusi lantaran pikiran terlalu terpaku pada kabut masalah. Perlu pikiran jernih agar jalan keluar tampak dalam batin kita.
Lebih lanjut Abdulhameed menyatakan bahwa rintangan atau masalah yang kita hadapi ibarat pintu tertutup tetapi sebetulnya dapat dibuka dan akan membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik. Ibarat ujian, masalah akan membawa kita menuju level kehidupan yang lebih tinggi. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam sejarah, orang berinovasi menemukan kendaraan setelah didera kelelahan akibat berjalan jauh. Dan begitu seterusnya.
Hukum Entropi
Hukum entropi dalam fisika menyatakan bahwa ketidakberaturan akan meningkat dalam suatu sistem seiring dengan waktu kecuali jika kita menambahkan energi ke dalam sistem tersebut. Sebagai contoh, bumi beserta isinya akan membeku dan mati bila matahari tidak mengirimkan energi setiap hari.
Hidup kita akan kacau-balau seiring waktu bergulir jika kita tidak menerapkan prinsip-prinsip keimanan. Salah satu perwujudan iman positif adalah amal saleh atau berbuat baik, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi kepada orang lain juga. Tak sedikit orang mengeluh tentang kebahagiaan yang tak juga dirasakan padahal kerja keras dan perjuangan sudah mereka kerahkan.
Yang kurang tepat adalah bahwa selama ini mereka hanya fokus pada kebaikan diri sendiri tanpa mengorientasikan kebaikan jangka pendek dan jangka panjang untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain. Tanpa sadar mereka ibarat anak kecil yang memandang seolah dunia ini harus melayani mereka, demi kebahagiaan mereka semata. Mereka belum berkembang secara emosi dan spiritual.
Ketika bergabung dalam komunitas Bernas atau Berbagi Nasi, saya merasakan betul kebahagiaan tak terperi. Perasaan ecstatic segera menjalar ke seluruh tubuh begitu nasi bungkus berpindah tangan kepada orang-orang yang membutuhkan. Dingin malam, apalagi saat Bogor diguyur hujan, memberi warna tersendiri bagi definisi kebahagiaan yang saya serap. Tak banyak uang, tak berlimpah harta, namun kegembiraan muncul begitu instan dan bertahan lama bahkan dengan cara mengenangnya kini saat saya sudah jauh dari Bogor.
Kekuatan kata-kata
Tahukah Anda bahwa kata-kata ternyata turut menentukan kondisi kita. Kata-kata yang kita ucapkan atau dengarkan dari orang lain ikut membentuk diri kita. Otak kita lentur dan bisa menerima respons berupa kata-kata positif atau negatif. Membiasakan diri mengucapkan kata-kata yang baik dan bertenaga akan berpengaruh pada kondisi riil kita. Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang yang gemar berkata-kata negatif dapat menggerogoti keutuhan diri kita.
Menurut Dr. Abdulhameed, kehidupan bisa kita tingkatkan menjadi lebih baik lagi dengan cara menambah koleksi kata-kata baru. Orang yang memiliki kosakata lebih banyak ternyata dapat mengekspresikan diri secara lebih tepat dan efektif. Mereka mampu mengenali berbagai perasaan dalam diri mereka sehingga dapat menyampaikan pesan yang akurat kepada orang lain atau sekelilingnya.
Dari fakta, misalnya, saya belajar bahwa ‘tidak suka’ tidaklah sama dengan ‘benci’. Tidak suka pada seseorang bukan berarti kita benci pada orang tersebut. Tidak suka pada seseorang bisa berarti ada sesuatu pada diri orang itu yang tidak cocok dengan prinsip kita. Namun bukan berarti kita membencinya. Saat tidak suka, kita mungkin sekadar cuek saat bersama orang itu dalam situasi yang sama. Namun saat benci, kita akan cenderung menghindarinya semampu kita atau bahkan mencoba cara-cara untuk menyingkirkannya baik dalam imajinasi maupun profesi (karier).
Kata-kata yang sering kita ucapkan bisa dianggap ibarat tetes air hujan. Tetesan itu menggumpal lalu merembes ke dalam tanah dan mencari cara untuk bisa menjangkau akar. Kesimpulannya, kata-kata baik yang kita pelajari, baca, atau ucapkan akan memasuki alam bawah sadar untuk membentuk pikiran kita—sebagai autopilot dalam menentukan arah lebih baik. Masih mau meremehkan kata-kata?
Bahagia di segala situasi
Menoleh ke belakang, tak bisa dipungkiri begitu banyak gejolak masalah dan peristiwa yang saya anggap sebagai musibah. Kekurangan uang, ujian berupa sakit—baik sendiri atau anggota keluarga, masalah dengan tetangga, teman atau pasangan yang semuanya sering berujung pada kesedihan belaka.
Saya lalu teringat pada tulisan lain Dr. Abdulhameed tentang tahap-tahap kesadaran spiritual sebagaimana diidentifikasi dalam Al-Quran. Kategori terendah adalah nafsul ammarah, yakni orang yang abai dan tidak sadar terhadap konsekuensi setiap perbuatan yang ia lakukan. Mereka biasanya berani berdusta dan berbuat curang, serta egois demi kepentingan sendiri. Mereka percaya bahwa ketidakbahagiaan yang mereka rasakan adalah akibat kesalahan orang lain.
Kategori kedua, nafsul lawwamah, yaitu orang-orang yang mampu mempertanyakan dan mengevaluasi diri mereka sendiri. Mereka berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan agar terhindar dari masalah. Mereka belajar dan berusaha mendapatkan nasihat dari orang lain sambil berupaya bersikap rendah hati. Mereka yakin bahwa peristiwa menyakitkan berupa penyakit, kehilangan, atau kekecewaan memiliki manfaat atau hikmah penting untuk perkembangan diri.
Akhirnya tingkat kesadaran tertinggi adalah nafsul muthmainnah: inilah orang bahagia yang sesungguhnya! Orang-orang dalam kategori ini tidak lagi dipusingkan oleh keadaan. Di dunia ini tak ada lagi masalah. Yang ada hanyalah peluang untuk berbuat baik. Bukan kegagalan melainkan kesempatan belajar lebih mendalam. Bagaimana cara mencapai level ini? Dengan membiasakan mengucapkan, “Laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim.”
Intinya, semua yang terjadi berasal dari kebesaran dan kebijaksanaan Allah dan kejadian itu menyimpan benih kebaikan besar yang harus kita kuak. Siapa pun yang memandang segala peristiwa dengan kacamata ini akan meraih kebahagiaan. Mereka bahagia di segala situasi. Saya pribadi tidak berpretensi berada di level ini, namun berusaha menyeleraskan perasaan agar tidak terlalu dirundung kepedihan hidup. Nyatanya masih banyak orang lain yang jauh lebih menderita atau terbatas sumber dayanya.
Resolusi pribadi
Sejak saat itu, kumpulan tulisan karya Dr. Abdulhameed ini menjadi buku favorit yang saya baca berulang kali kapan pun saya membutuhkannya. Tulisan yang sama bisa saya baca beberapa kali dan tetap punya tenaga. Mungkin saya masih jauh dari pribadi baik, namun saya bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang masih Tuhan berikan. Faktanya, banyak yang bisa saya bagikan, salah satunya melalui tulisan di blog ini.
BBC Mania, adakah buku yang begitu berkesan dan sering jadi sumber kekuatan ketika masalah menerjang? Tentu selain kitab suci ya. Selamat berakhir pekan.
4 Comments