Belajar dari Dewa Mabuk

drunken

Pernahkah kita belajar sesuatu dari orang yang tidak kita sukai lalu memetik hikmahnya? Walau definisi frasa ‘tidak suka’ tidak mudah dibuat dengan rapi, secara pribadi tentu saya pernah menyerap pelajaran dari orang lain. Sebagaimana saya singgung dalam tulisan dua pekan lalu, penguasaan semantik atau seluk-beluk makna kata ternyata sangat menentukan dan bahkan membentuk kehidupan kita.

Maka bukan perkara gampang menjawab tentang orang yang tidak kita suka. Sebab sebenarnya kita bukan bermasalah dengan orangnya melainkan menentang sifat-sifat negatif yang sesungguhnya bisa diubah, entah dihilangkan sama sekali atau dikurangi pada batas yang terkendali.

Suka atau tidak suka pada seseorang kadang juga dipengaruhi oleh preferensi pribadi masing-masing orang mengenai suatu hal yang spesifik, misalnya pilihan hobi, profesi, karya, dan sebagainya. Namun perlu diingat sekali lagi bahwa tidak suka bukan berarti benci. Dari situ saya ingin menceritakan sebuah pelajaran menarik dari seseorang yang tidak saya sukai.

Sihir Dewa Mabuk

Dia seorang penulis, juga musisi kreatif yang kini bermukim di Bandung. Saya jelas tak mengenalnya apalagi pernah berjumpa. Namanya mencuat dalam sebuah obrolan santai bersama seorang teman ilustrator beberapa tahun silam. Menurut kawan ini penulis tersebut terbilang kreatif karena selain piawai menulis ia juga jago menggambar. Namanya lalu menguap seiring berjalannya waktu.

Tahun 2016 saat masih tinggal di Bogor, saya memenangkan kompetisi menulis ulasan buku yang dihelat oleh sebuah penerbit mapan yang kebetulan berbasis di Bandung. Bukan hanya kamera digital keren yang dikirimkan sebagai hadiah, tetapi juga disertai beberapa eksemplar buku terbitan mereka yang bagus.

Dua di antaranya buku berjudul Drunken Monster dan Drunken Marmut. Sampulnya cukup menyita perhatian karena menampilkan gambar yang tak lazim yakni semikarikatur yang seolah dikerjakan dengan malas dan juga sapuan kuas yang menarik. Nama penulisnya menyalakan memori obrolan bersama seorang kawan ilustrator yang saya sebut sebelumnya.

Kala itu buku serinya bertajuk Dilan sudah lumayan digandrungi sebagaimana saya ketahui lewat seorang sahabat yang berjualan buku melalui toko buku daring di Bogor. Pesanan mengalir terus walau tak jelas apa keunggulan isinya. Saya tentu saja tak tergoda untuk membacanya bahkan hingga saat ini. Alih-alih membeli karya larisnya itu, saya coba selami dua judul yang saya punya, itu pun saya dapatkan secara cuma-cuma.

Kesimpulan pertama saya mengenai penulis ini adalah sableng atau edan. Cerita-cerita yang disajikan dalam kedua buku tersebut jelas merupakan fragmen nyata yang terjadi betul-betul dalam kehidupan penulis sehari-hari. Tak ada tema besar atau narasi global yang penulis angkat sehingga membuat pembaca mengerutkan kening dan terduduk lunglai. Pun bukan jenis bacaan yang bisa menyulut pecahnya tawa meskipun anasir komedi selalu saya temukan dalam setiap tulisan. Humor-humornya memang bersifat satiris sehingga sering menerbitkan senyum kecut di bibir atau bikin saya mengepalkan tangan di udara akibat kesablengan penulis.

Gaya bertuturnya semau-maunya dia, alur cerita diatur sekehendak hatinya walau tak sesuai ekspektasi pembaca, bahkan tak jarang ia menyebutkan sesuatu seolah-olah penting namun kemudian dihempaskan begitu saja ketika saya berharap ia mengelaborasinya. Selain gaya bercerita yang ganjil, kreativitas lainnya terlihat dari gambar karikatural namun realis yang tak jarang ia tampilkan dengan perspektif yang tidak biasa. Ini kesimpulan kedua.

Tiga kesimpulan

Kesimpulan terakhir: kendati saya dibuat bingung tentang mana fakta yang benar-benar terjadi dan mana kesablengan yang ia manipulasi, saya berani menduga ia termasuk sosok yang pemurah atau berjiwa sosial tinggi meskipun saya tak mau membayangkan bergaul dengannya lantaran keisengan dan imajinasi bermainnya yang terlampau liar—benarkah semua detail itu fiksi?

Ia ibarat orang mabuk yang mengacaukan realitas dan khayalan tanpa batas bahkan untuk buku yang bukan tergolong karya fiksi. Lama-lama saya memang tidak peduli apakah semua kisah yang ia tulis dengan penuh bodor itu betul-betul ia alami ataukah ia rasa pernah alami atau malah ia ingin alami. Dan dari dewa mabuk seperti itu saya belajar gaya bercerita yang seru meskipun ternyata tak mudah.

Salut pada pola kreatif yang ia lakoni. Walaupun saya tak menyukai seri Dilan yang ia gubah—juga tak mendukung popularitas kelarisannya—suatu hari saya mungkin akan membaca Drunken Mama dan Drunken Molen entah dengan cara membeli atau meminjamnya. Terima kasih, Pidi!

1 Comment

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s