Education breeds confidence. Confidence breeds hope. Hope breeds peace.
—Konfusius
Kalau harus menyebut satu hal paling dalam kehidupan, itu pastilah harapan. Baik agama maupun perspektif psikologi mengakui bahwa harapanlah yang menyuntikkan kekuatan sehingga manusia semangat menjalani hidup. Itu pula sebabnya kedua anak saya kami beri nama Xi sebagai pengingat bahwa punya harapan itu vital. Bahwa seberat dan sepelik apa pun kondisi hidup yang melingkupi mereka kelak, harapan harus tetap dipancangkan, dibangun dan dilestarikan.
Pendidikan bisa menjadi salah satu sarana untuk mendapatkan harapan, sebagaimana pendapat Konfusius yang membuka tulisan ini, bahwa pendidikan dapat melahirkan kepercayaan diri, sedangkan kepercayaan diri dapat melahirkan harapan, dan harapan akhirnya akan menciptakan perdamaian.
Menurut saya ini hal mendesak yang butuh digarap serius di Indonesia, di mana ketimpangan sosial dan perbedaan SARA berpotensi menjadi bibit perpecahan. Pendidikan bisa menjadi solusi atas lahirnya kecamuk perselisihan atau sejuknya perdamaian.

Tak heran jika salah satu penulis dan tokoh pendidikan asal Selandia Baru, Sylvia Ashton-Warner, mengingatkan bahwa para negarawan mestinya bukan sibuk menghadiri konferensi ketika perang telah berakhir. Mereka harusnya mengalihkan perhatian ke kelas tempat anak-anak belajar sebab dari sanalah perang atau perdamaian bisa tercipta.
JNE dukung pendidikan inklusi
Pendapat Sylvia memang valid, setidaknya berdasarkan pengalaman yang saya miliki. Bagi anak-anak, sekolah bukan hanya sarana belajar, tapi momen untuk membangun persahabatan dengan berbagai pengalaman menyenangkan—walau bagi orang dewasa mungkin tampak sepele. Mereka belum diwarnai prasangka tentang perbedaan ras atau ciri fisik lain sampai kita sebagai orang dewasa menularkannya.
Mereka masih bebas nilai, dalam arti kita bisa menanamkan nilai sesuai target dan harapan. Begitulah harusnya pendidikan dilaksanakan, menjunjung inklusi dan sinergi untuk menciptakan manfaat optimal, lebih-lebih dalam konteks Indonesia yang sangat bineka. Siapa pun punya hak untuk belajar dan membebaskan diri dari kebodohan guna mencapai akselerasi kehidupan.
Dengan tujuan ini pula JNE yang menginjak usia 32 tahun turut mendukung kemajuan pendidikan dengan memberikan beasiswa bagi para siswa SMK Bakti Karya (SBK) Parigi Pangandaran. Kegiatan positif ini merupakan perwujudan tagline JNE yakni “Connecting Happiness”, semangat berbagi kebahagiaan untuk seluruh pelanggan dan negeri tercinta.

SBK sendiri adalah yayasan pendidikan yang berkomitmen mewujudkan inklusi pendidikan melalui pemberian beasiswa penuh bagi siswa/i dari seluruh penjuru nusantara, yang mencakup keragaman latar belakang budaya dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
JNE ingin menjadi bagian dari kemajuan bangsa dengan memberikan beasiswa agar anak-anak dari berbagai suku bangsa dapat terus mengenyam pendidikan sebagai bekal masa depan. Ini adalah satu inovasi dan pengembangan JNE yang terus berkomitmen mendukung terciptanya ekosistem yang dapat menghasilkan manfaat dan kolaborasi berkesinambungan, dalam hal ini pendidikan yang merata.
Dilangsungkan di Ballroom kantor JNE Jl. Tomang Raya 11, Jakarta Barat pada Selasa, 19 Juli 2022, silaturahmi yang diramaikan adik-adik SMK Bakti Karya Parigi memberi mereka kesempatan untuk mengikuti office tour dan berkenalan dengan Presiden Direktur JNE, M. Feriadi Soeprapto. Dalam acara tersebut hadir pula Doedi Hadji selaku Head of Marketing Communication JNE dan Ayung Prasetyo selaku Human Capital Operation Division Head.
Dalam sambutannya, Feriadi Soeprapto menuturkan bahwa JNE akan terus berkomitmen untuk berbagi manfaat seluas-luasnya dan sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu langkah positif yang diambil adalah dengan mendukung kegiatan belajar mengajar di SMK Bakti Karya Parigi Pangandaran yang memfasilitasi pendidikan para siswa yang unik dan khas dengan latar suku dan daerah yang beragam, mulai Sabang hingga Merauke.
“Dalam menjalankan bisnis, langkah JNE akan tetap memberikan kebahagiaan bagi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan semangat Connecting Happiness.”
Inspirasi kebinekaan
Kehadiran Maman Suherman atau yang akrab disapa Kang Maman cukup menginspirasi adik-adik SBK hari itu. Penulis dan pegiat literasi itu mengatakan, “Banyak cerita di antara yang sering dikirimi buku pelajaran atau buku rohani dari beragam suku yang ada di Indonesia untuk saling berbagi dengan yang berbeda suku dan agama.”
Ia mantap menyatakan bahwa ke-Bhinneka Tunggal Ika-an di Indonesia adalah hal yang sangat luar biasa. Perbedaan justru membuat kita satu. “Kalau tidak bhineka maka bukan Indonesia!” ujarnya lagi.
Sementara Ai Nurhidayat yang merupakan pendiri SBK Parigi Pangandaran mengisahkan sekolah yang ia rintis sejak 2016. Memasuki angkatan ke-7 tahun ini, kelas multikultural SMK Bakti Karya telah menghimpun anak-anak dari tujuh kota, yakni Jayapura, Sorong, Ambon, Kupang, Ujungpandang, Palembang dan Pekanbaru.
“Kami membuka akses beasiswa penuh dengan melibatkan publik seluas-luasnya agar transparan diketahui segala proses belajar mengajar serta memberikan kesempatan kepada siswa bersekolah selama tiga tahun,” ujar Ai. Dengan cara seperti ini maka biaya pendidikan bisa disokong bersama sehingga anak-anak dari seluruh Indonesia dapat terus mengenyam pendidikan bermutu tanpa mengkhawatirkan biaya. Dan JNE telah menjadi inisiatif positif itu.
2 Comments