Bukan karena kebutaan sejak usia sembilan bulan yang membuat Welly dirundung kesedihan, tapi lantaran lamaran kerjanya berkali-kali ditolak bahkan sebelum diberi kesempatan tes dan wawancara. Hatinya sempat membuncah ketika ia diminta dosennya membantu mengajar di kampus tempat ia kuliah. Walau ia mengaku sanggup dan bahkan mau mengajar tanpa dibayar, rupanya ia terganjal oleh sejumlah pejabat kampus setempat yang tidak setuju dengan usulan itu.
Welly memang pekerja keras. Kondisi tunanetra tak menghalanginya untuk mengubah nasib dengan terus belajar menggunakan media rekam. Ia akhirnya mengenyam pendidikan hukum di sebuah universitas swasta di Makassar. Lulus kuliah, Welly tak pernah patah arang menjajal peruntungan dengan melamar sebagai staf pengajar. Lima tahun berjalan tanpa satu pun hasil yang diharapkan, ia pun memutuskan merantau ke Jakarta untuk meraih peluang kerja di sana.

Kesempatan emas akhirnya datang
Namun tiga bulan berada di Jakarta tak satu pun kabar gembira menyambanginya meskipun lamaran demi lamaran ia kirimkan ke banyak perusahaan, bahkan termasuk menjajaki peluang menjadi pegawai negeri sipil. “Saya mau pulang, nggak betah di sini,” ujarnya kepada teman yang menampungnya selama di Jakarta. Tepat saat itulah teman tersebut menginformasikan tentang lowongan kerja di Tiki untuk mengisi posisi sebagai penerima telepon.
Kali ini Welly tak ingin melewatkan kesempatan emas yang menjadi peluang terakhirnya mendapatkan pekerjaan sebelum meninggalkan Jakarta. Itulah sebabnya ia minta diantar ke rumah pemilik Tiki yakni Soeprapto Suparno. Begitu tiba dan menyatakan niatnya mengabdi di Tiki, Welly harus menahan perasaan ketika Soeprapto menyatakan bahwa lowongan sebagai penerima telepon sudah terisi.
Sebelum hatinya hancur, Welly mendapat secercah harapan ketika Soeprapto berujar, “Ini ada di JNE!” ujar Soeprapto singkat. Ia makin semringah begitu tahu bahwa surat lamaran tak perlu diubah untuk perusahaan yang akan ia tuju. Tanpa mengulur waktu, Welly bergegas meluncur ke JNE keesokan harinya dan langsung diterima sebagai tenaga penerima telepon setelah bertemu direksi.
Welly tak hentinya bersyukur karena Allah telah mewujudkan kehidupan mandiri yang ia cita-citakan lewat kebaikan hati Soeprapto Suparno. Itu tergambar jelas dari ekspresi jujur saat mengatakan:
“Terima kasih, Pak Prapto karena telah memberi saya kesempatan,” ujarnya mantap.
Welly telah mengabdi di JNE selama 18 tahun dan tutup usia tahun ini sebelum peluncuran buku “Bahagia Bersama” pada tanggal 7 September 2021 silam. Sungguh sepenggal kisah yang mengharukan. Dari Welly kita belajar tentang ketangguhan untuk tak gampang menyerah. Dari Soeprapto Suparno kita bisa petik pelajaran besar tentang arti sebuah kesempatan bagi mereka yang selama ini termarginalkan oleh sistem atau keadaan.
Tiga serangkai yang bikin happy
Kisah Welly menjadi fragmen penting yang melengkapi kisah-kisah lain dalam buku yang ditulis oleh Kang Maman dan dipercantik dengan gambar-gambar khas karya Muhammad Misrad atau yang kondang dengan sebutan Mice. Buku “Bahagia Bersama” benar-benar bergizi bukan hanya menarasikan rahasia kesuksesan JNE yang sangat inspiratif, tetapi juga karena ditulis dengan manis tanpa intervensi dari jajaran direksi ekspedisi terbesar di Indonesia ini.
Kang Maman, misalnya, menceritakan pengalamannya selama masih kuliah dan sempat mencuri jambu untuk berbuka puasa. Semula ia berharap mendapatkan honor dari tulisa yang diterbitkan oleh sebuah media, tapi begitu tiba di kantornya ternyata media itu tutup. Kang Maman akhirnya berjalan pulang tanpa uang sepeser pun dan sampailah di rumah yang jambu klutuknya menggoda. Setelah memetik sebuah, rupanya pemilik rumah muncul dan Kang Maman tercekat saat meminta izin yang sebenarnya sudah terlambat.
Alih-alih marah atau meneriakinya maling, sang ibu tua malah menawarinya segelas teh manis dan kue sebagai pembatal puasa. Bahkan ia menyajikan nasi dan lauk untuk Kang Maman walaupun sang ibu berbeda agama. Ia dari Manado, Sulawesi Utara sementara Kang Maman dari Makassar Sulawesi Selatan. Ketika pamit, ibu tua berkulit putih itu masih sempat mengulurkan Rp25.000 yang kala itu sangat besar. Bukankah hubungan saling mengasihi seperti ini begitu indah dan meneduhkan?

Sepenggal kisah itu sejalan dengan kebijakan JNE yang berkomitmen untuk memakmurkan seluruh pegawainya. Walaupun founder Soeprapto Suparno dan co-founder Djohari Zein beragama Islam, tapi perlakukan dan penghargaan untuk semua karyawan tidak pernah dibeda-bedakan menurut suku, agama, ras atau golongan. Hal ini ditegaskan oleh Direksi JNE yaitu Mohamad Feriadi Soeprapto (presiden direktur), Hui Chandra Fireta (direktur), dan Edi Santoso (direktur keuangan) yang Kang Maman juluki sebagai Tiga Serangkai.
“Sama, silakan tanya Pak Chandra. Beliau nonmuslim,” jawab Feriadi saat ditanya apakah karyawan beragama lain mendapatkan imbalan serupa sebagaimana pemeluk agama Islam yang dibiayai untuk melaksanakan umrah ke Tanah Suci. Chandra menegaskan bahwa karyawan nonmuslim pun mendapat kesempatan yang sama untuk berziarah ke tempat suci agama masing-masing jika memenuhi persyaratan.

Kebijakan ini menjadi salah satu wujud spirit filantropis JNE yang dirangkum Kang Maman dalam tiga kata kunci: berbagi, memberi, dan menyantuni. Konsep yang juga Kang Maman sebut dengan Tiga Serangkai (nilai) inilah yang menurut saya menjadi landasan sekaligus rahasia kesuksesan JNE sebagai perusahaan terkemuka di Indonesia. Dalam kalimat singkat, tradisi beramal telah melejitkan JNE sebagai perusahaan logistik yang fenomenal.
Filosofi kebaikan yang dipancangkan oleh pendiri yakni Soeprapto Suparno telah mendarah dalam bisnis JNE, dan tentu saja dijiwai oleh para karyawan terutama jajaran direksi. Hui Chandra menuturkan bahwa jumlah zakat yang harus dikeluarkan perusahaan pernah mencapai satu miliar rupiah. Angka itu masih ditambahkan 10% atau senilai 100 juta untuk disalurkan kepada yatim piatu, fakir miskin, dan orang-orang duafa yang nonmuslim.
Kebahagiaan untuk semua
Seluruh karyawan termasuk jajaran direksi yakin sepenuhnya untuk selalu mendahulukan perintah Tuhan jika kita ingin mendapatkan apa yang diinginkan. Hal ini terbukti dari keterbukaan JNE yang memperbolehkan karyawan mengajukan permohonan dana untuk didistribusikan bagi siapa saja yang membutuhkan, mulai dari yatim piatu, janda-janda miskin, pemulung dan bahkan termasuk sumbangan untuk pembangunan masjid, gereja atau tempat ibadah lain serta berbagai sarana pendidikan. Uniknya, tak ada kewajiban administrasi untuk melaporkan penyaluran dana sebab semuanya dilandasi kepercayaan.

Edi Santoso yang diamanahi sebagai direktur keuangan memperkuat nilai-nilai kepedulian dan semangat berbagi di tubuh JNE dengan menyatakan bahwa pencapain margin keuntungan bukanlah hal utama yang dikejar, melainkan ppeningkatan zakat dan sedekah yang bisa diberikan perusahaan untuk warga yang membutuhkan dalam lingkup kecil atau skala besar. Edi yang berasal dari Magetan menuturkan bahwa selain spirit berbagi, memberi, dan menyantuni kunci kesuksesan JNE terletak pada pelayanan yang cepat dan aman serta komitmen menjaga kepercayaan dan kepuasan pelanggan.
Buku “Bahagia Bersama” yang ditulis Kang Maman memang sangat istimewa. Alasan pertama, Kang Maman mengaku kerap menolak permintaan menulis buku biografi atau profil bisnis yang sering dialamatkan kepadanya. Pernah misalnya ia diminta menulis sosok seseorang dan dijanjikan dibayar ratusan juta, ia langsung menolak. Ia khawatir tak bisa bersikap objektif lantaran terlalu didikte atau diberi data yang diinginkan oleh pemesan saja. Berbeda dengan JNE yang memberinya keleluasaan untuk menghimpun data sesuai kebutuhan tanpa campur tangan direksi.
Buku yang hidup
Ia mengaku salut ketika Pak Feriadi selaku Presdir JNE tidak menyatakan komplain atau keberatan sedikit pun padahal profil beliau dalam buku hanya ditampilkan dalam tiga halaman sementara direktur lain (Edi dan Hui) dan bahkan para karyawan nonmanajemen lain mendapatkan porsi pemuatan yang lebih banyak. Bukan tanpa alasan Kang Maman mengambil langkah ini sebab kisah-kisah para kurir sebagai ujung tombak, para mitra/agen, juga orang-orang yang pernah menerima manfaat dari JNE sungguh menyentuh dan menggetarkan hati—melampaui batas keyakinan agama dan identitas sosial.
Alasan lain mengapa buku ini wajib dikoleksi adalah karena isinya beragam. Bukan hanya bercerita tentang rahasia sukses JNE, Kang Maman juga mengisahkan kebaikan hati Komeng yang sering misterius, dermawan cilik yang sempat menghebohkan Tanah Air dengan gorengan termahalnya senilai Rp60 juta, hingga renungan-renungan menohok yang diterjemahkan dengan hidup oleh Mice dalam bentuk kartun menggemaskan.

Buku yang diterbitkan untuk menandai ulang tahun JNE ke-31 ini juga menghadirkan tulisan para pemenang JNE Writing Competition 2020. Dari tulisan mereka saya semakin mantap bahwa pilihan menggunakan JNE adalah keputusan bijak yang harus diteruskan, tepat seperti Pak Feriadi yang melanjutkan spirit berbagi, memberi, dan menyantuni yang telah dirintis oleh ayah tercinta. Banyak hal-hal menarik dan bahkan dramatis terjadi di luar dugaan kita sebagai konsumen yang hanya menanti teriakan kurir di depan pintu.
Ulang tahun JNE yang jatuh pada tanggal 26 November 2021 nanti tetap mengangkat tagline “Berbagi, Memberi, dan Menyantuni” sebagai motor utama perusahaan yang didirikan oleh Pak Soeprapto tanggal 26 November 1990. Keberhasilan Pak Prapto bukan hanya terbukti dengan melambungkan nama Tiki sebagai perusahaan ekspedisi yang besar di Indonesia tetapi juga kesuksesannya meletakkan dasar-dasar cinta kasih yang tecermin dalam tiga kata tersebut, yang terus dihidupkan oleh jajaran direksi dan karyawan JNE hingga kini.
Kalau BBC-Mania butuh bacaan ringan tapi bergizi, dengan penceritaan mengalir dan sarat cerita mengharukan bahkan membesarkan hati kita yang mungkin tengah terpuruk, “Bahagia Bersama” adalah yang Anda cari. Halaman full-color akan membuat mata betah saat membaca, lebih-lebih pada bagian kartun Mice yang unyu dan tak jarang menyindir halus. Setelah tuntas membaca, jangan lupa bagikan kesan kepada teman atau keluarga bahwa berbagi tak harus menunggu kaya, bahwa untuk bisa memberi tak harus berlimpah harta.
Semoga resensi buku ini bermanfaat.
Saya terkesan dengan sikap pak Soeprapto yang memberi kesempatan kepada Bu Welly untuk berkantor di JNE, ini salah satu contoh inspiratif mewujudkan Indonesia inklusif
LikeLike
Wah, klo ada kartunnya Mice pastilah makin menarik. Ceria. Jadi, buku ini paStilah menginspirasi sekaligus menceriakan hati pembaca.
LikeLike
Thanks for sharing
LikeLike