Zing! Bernas Bogor 16 September

SUDAH SEBULAN sejak kami ngider nasi tanggal 17 Agustus silam, tepat di hari orang-orang akan merayakan Proklamasi dalam upacara bendera. Berkali-kali menyepakati hari untuk kembali menyisir Bogor dan berbagi nasi, sayang sekali jadwal dan kesibukan masing-masing belum ketemu di satu titik kompromi.

Jumat 16 September 2016 menandai kembalinya Bogor Sawargi, entah sudah yang kali keberapa. Meskipun sudah sebulan absen, malam kemarin perlu dicatat sebagai momen istimewa. Paling tidak menurut saya–dengan beberapa alasan sebagai berikut.

Empat Alasan

Pertama, jarang sekali saya terlibat ngider menjelang tanggal 15 pada kalender Qomariah. Mungkin suatu hari sudah pernah, namun tidak saya catat. Namun tadi malam berbeda. Saat menunggu nasi dibungkus, mata langsung tertancap pada wajah rembulan yang cukup benderang meskipun Bogor diliputi mendung tipis. Saya refleks membuka ponsel dan kata demi kata meluncur menjadi puisi seperti yang tersaji di bawah. Saya tak peduli apakah itu puisi atau tidak, tapi saya bersyukur dan bergembira bisa menulis puisi lagi–sebagai klangenan masa lalu–melalui momentum Bernas tadi malam.

Kedua, saya membawa wingko sebagai camilan sembari menunggu kawan-kawan berkumpul di depan Mesra. Kendati jumlah relawan atau pejuang nasi tidak sesuai daftar presensi sebelumnya, namun wingko tetap menyemarakkan suasana setidaknya bagi para pejuang yang hadir. Boleh dong sesekali promosi produk sendiri, hehe. (Ya bolehlah, ini juga kan blog saya sendiri :D)

Ketiga, ada dua rekan baru bergabung dalam acara ngider tadi malam. Mereka jauh-jauh bergerak dari Dramaga karena keduanya entitas Kampus IPB. Ridho dan Hafidh, selamat datang! Ridho masih berstatus mahasiswa sedangkan Hafidh kini tercatat sebagai dosen aktif di Fakultas Pertanian setelah menamatkan kuliah pascasarjana atau S2. Meskipun berprofesi sebagai dosen, Hafidh yang masih muda ini tidak canggung mengikuti arahan tukang wingko seperti saya, haha.
image

Total ada enam orang tadi malam. Bersama Kak Yuni, Sandi, Bagus, malam itu semua orang menyatu dalam satu bahasa: Bogor Sawargi atau Bogor berbagi lewat sebungkus nasi sebagai amunisi. Bila Sobat pembaca belum pernah merasakan perihnya kelaparan dan penasaran mengapa saya tertarik ikut kegiatan Bernas, silakan baca tulisan saya di sini.

Keempat, pada kesempatan ini kami menempuh rute berbeda. Biasanya kami menyusuri dua jalur utama, yakni (1) sepanjang Terminal Baranangsiang – Otista – Suryakencana – Lawang Gintung – Pahlawan – Empang dan berakhir di BTM; dan jalur (2) Juanda – Paledang – Jembatan Merah – PGB – Jl. Merdeka. Saat hujan, normalnya lebih banyak para pemulung atau gelandangan yang berteduh di emperan ruko sepanjang jalur kedua. Maka kami putuskan membawa 71 amunisi untuk menyisir satu jalur saja. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kami kerap kekurangan amunisi saat melewati jalur kedua sehingga harus membeli nasi bungkus lagi.

Ubah Arah

Ternyata prediksi kami meleset. Gerimis rintik-rintik tidak menjamin kami menemukan banyak target. Walhasil, hingga tuntas melewati Jl. Merdeka, amunisi masih tersisa banyak. Koordinasi bersama tim satu yakni Sandi dan Kak Yuni cukup sulit karena mereka berada dalam mobil sementara saya, Ridho, Hafidh, dan Bagus menggunakan roda dua alias pedati motor. Sesekali kami bertelepon dengan mencari tempat berteduh guna melindungi ponsel kami yang belum tahan air.

Akhirnya sepakat untuk kembali ke Jl. Pahlawan lanjut Suryakencana. Karena wilayah Kebun Raya Bogor mengikuti kebijakan satu arah, maka demi menghindari putar balik yang cukup jauh ke Tugu Kujang, kami pun banting arah ke Gunung Batu – Pasirkuda – Empang. Pilihan kami produktif. Beberapa sasaran terlihat di sepanjang jalanan ini.

This slideshow requires JavaScript.

Di pertigaan lampu merah, saya berbelok sendiri ke arah BTM yang biasanya menjadi tempat istirahat pemulung atau orang gila. Saya gembira karena amunisi yang saya bawa akhirnya berpindah tangan di jalur ini. Tersisa satu–namun dengan risiko saya kehilangan kontak dengan Sandi Cs dan Ridho Cs. Semakin malam hujan rupanya semakin deras–yang tidak memungkinkan kami untuk sering-sering membuka ponsel.

Singkat cerita, Ridho Cs sudah tiba di Lippo Plaza Bogor (dahulu Plasa Ekalokasari) Sukasari sementara Sandi dan Kak Yuni berada di Surken dalam perjalanan menyusul Ridho Cs. Saya tertahan di dekat SPBU Bondongan. Sempat tergoda untuk balik pulang, saya kemudian belok ke Gang Aut dengan maksud menjumpai Sandi. Ternyata nihil. Gelap dan dingin makin menyergap. Saya pacu kendaraan ke Sukasari, berbelok ke Jl. Pajajaran dan bertemu pemulung tak jauh dari Bank Muamalat. Amunisi terakhir berpindah tangan.

Karena amunisi tandas, saya meluncur kembali ke titik kumpul di Mesra. Sambil menunggu Ridho Cs tiba, saya lanjutkan menulis puisi. Sementara itu, Sandi dan Kak Yuni telah jauh hingga Tanah Baru mengingat amunisi yang mereka bawa masih cukup banyak. Setelah bertemu dengan Ridho CS dan berbagi wingko, kami berpisah. Hujan sepertinya berformalin karena awet hingga pukul 10 lewat bahkan sampai saya tiba di rumah.

Zing! – Energi

Saya gembira bukan main karena mendapat suntikan bahan untuk dituliskan sesuai tema pancingan harian dari WordPress. Zing, ini kata yang penting dari kegiatan kami malam itu. Dalam bahasa Inggris zing berarti energi, antusiasme, dan kegembiraan yang hidup. Seperti malam-malam Bernas sebelumnya, saya selalu mendapat asupan energi setelah melihat betapa beruntungnya saya dibanding orang lain. Saat udara begitu dingin, hujan menyirami Bumi, toko-toko tutup, orang-orang bergegas tidur atau menikmati waktu bersama keluarga sambil nonton TV–ada orang-orang yang menggigil di emperan toko atau warung-warung tenda pinggir jalan sambil menahan perut perih karena lapar.

Itulah makna penting yang berusaha saya hirup setiap kali tuntas ngider nasi. Bahwa untuk mendapatkan sebungkus nasi, mereka mesti memunguti benda-benda yang sudah kita anggap sampah tapi masih berharga untuk mereka. Bahwa untuk mempertahankan anak-anak mereka di sekolah, mereka harus berjaga kadang sepanjang malam untuk menjemput rezeki dengan menyisir jalanan. Energi semacam ini sangatlah berkualitas karena mampu menstimulasi kegembiraan lain bagi saya. Kegembiraan yang hidup dan menghidupi semangat.

Zing! – Cubitan Sayang

Sebagai kata kerja, zing juga punya makna khusus yaitu menghina atau mengkritik seseorang dengan cara yang tajam tetapi cerdas. Saya menganggap kegiatan bernas ini seperti cubitan lembut yang mengingatkan saya agar tidak banyak mengeluh karena hal-hal yang belum tercapai. Semacam cubitan sayang yang diam-diam membuat mata terbelalak untuk menyaksikan banyak nikmat yang sudah saya peroleh dan oleh karena itu tak perlu menunggu harta menumpuk untuk turut berbagi–sekalipun lewat sebungkus nasi.

Akhirnya, inilah deretan kata-kata yang saya anggap puisi itu. Selamat menikmati.

Rembulan Tanggal Empat Belas

Tanggal empat belas
Rembulan tak bisa dihentikan
Kecuali oleh rindu tak terucapkan
oleh langkah-langkah kaki
dari balik sepi
Tak ada yang mendengar jeritan lapar
Ketika rembulan mekar. Sinarnya tumpah pada daun-daun yang gemetar

Tanggal empat belas
Rasa kantuk tak boleh tuntas
Meski rumput-rumput sudah terbakar
Oleh deru mesin yang menggerogoti dirimu
Meski malam akan digulung
Oleh segenap mimpi paling brutal
Sebab mulut-mulut masih menganga. Menanti hujan dalam kebisuan

Rembulan tanggal empat belas
Berbicara padamu dengan bahasa yang lugas
Tapi kau terlalu cerdas untuk tak memahami rahasia sebutir beras
Tanggal empat belas
Rembulan akhirnya lunas
Didekap langit yang muram
Maka titik-titik air yang menghempas
Perlu kita sambut sebagai tamu sejarah
Yang menghapus jarak antara kenangan dan airmata
Yang membasuh nurani pada sebongkah memori yang berdebu. yang berliku

Note: Setiap kali menuliskan pengalaman ngider nasi, selalu ada risiko bahwa tulisan itu akan dianggap pamer atau ujub belaka. Tak apa, setiap cerita tentang bernas semata-mata bertujuan mengabarkan kegiatan kecil kami dengan harapan lebih banyak orang mengikuti langkah ini, baik melalui bernas di kota masing-masing maupun ngider secara mandiri.

13 Comments

Tinggalkan jejak