Sueger Famtrip 2019 Jember: Sihir Papuma, Aroma Kopi, dan Daun Emas yang Melegenda (1)

Kata-kata menyerah

Luruh ke balik bukit

Ketika ombak mengecup pantai

Mengantarkan buih yang merindukan ceritamu

Pasir putih yang dibesarkan matahari

Begitu setia menyambut derap langkah para nelayan

“Terima kasih, wahai laut. Terima kasih kepada malam

yang menjaga jarak antara maut dan kenangan,” ujar sekelompok ikan

dalam keranjang penuh kedamaian  

Hari ini kata-kata tak peduli lagi pada puisi

Hari ini aku menyerahkan segala keputusan

kepada kabut dan pantai

yang tak pernah sanggup kutafsirkan keindahannya

Hari ini aku menyerah

pada alam. kata-kata menyerah—

luruh dalam kerinduan atau ingatan yang tak pernah kumiliki.

Begitulah larik demi larik yang lahir begitu saya tiba di Lamongan selepas menikmati pesona Pantai Papuma, Jember yang sangat menyihir. Tak heran jika Sihir Papuma saya pilih sebagai judul puisi pendek itu. Saya akui pengalaman mantai memang sangat sangat terbatas, tapi debur ombak dan selimut kabut pada saat senja di Pantai Pasir Putih Malikan (Papuma) sungguh layak diabadikan; tak cukup terbingkai dalam potret atau rekaman video—tetapi juga guratan tulisan atau bait puisi yang punya sensasi tersendiri saat nanti dirindukan dan ingin dinikmati kembali. Pesonanya bikin speechless sehingga kata-kata seperti tak sanggup menjangkau keindahannya. Sungguh karunia Allah yang layak diapresiasi dan dilestarikan.

Batu kokoh, berdiri tegak menambah keanggunan Papuma.

Bikin speechless

Sungguh beruntung Sabtu 22 Juni lalu saya bersama 29 bloger seluruh Indonesia mendapat kesempatan emas untuk menepi di Pantai Papuma yang terletak di Desa Lohjejer Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember. Layaknya deretan pantai selatan yang lain, Pantai Papuma ditandai dengan perbuktitan dan jalan yang terus menanjak untuk bisa dicapai. 3 unit Toyota Hiace yang disiapkan Dispar terbukti tangguh mengangkut kami semua menuju kawasan utama Papuma. Hanya butuh perjuangan ekstra untuk naik ke Siti Hinggil atau titik tertinggi di mana kita bisa menyaksikan pesona laut biru dengan ombak kehijauan dengan pagar berupa perbukitan yang diliputi kabut.

Perahu nelayan siap melaut.

Tiba di sana sore hari sekitar pukul 5 sore, Papuma sebenarnya bukan destinasi utama karena semula kami dijadwalkan ke Pantai Payangan untuk menyaksikan sunset atau matahari terbenam. Sayang sekali waktu tidak mencukupi karena agenda hari pertama cukup padat. Namun Papuma sungguh patut dikunjungi—tepat seperti yang pernah diceritakan Muna Sungkar dalam bukunya Momtraveler’s Diary (Sixmidad, 2014) bahwa Papuma pun sempurna untuk menangkap sunset. Apalagi batu-batu hitam raksasa menjulang tinggi menjadi pemecah ombak sebelum ia sampai ke pantai.

Degan bikin tenang

Kemesraan sore itu makin lengkap dengan kejutan dari panitia penyelenggara berupa puluhan degan atau kelapa muda yang diangkut ke Siti Hinggil masih dalam batoknya. Terbayang kan upaya untuk mengangkatnya ke lokasi yang cukup tinggi itu? Bayangkan betapa istimewanya kebersamaan kami Sabtu senja itu ketika semua mata memandangi lautan lepas di bawah, dengan latar kabut yang elok dan udara sejuk—sambil menyeruput segarnya kelapa muda yang krenyes-krenyes. Walau ada sepenggal video tentang Papuma yang hilang entah ke mana, saya bersyukur sebab beruntung bisa mengambil beberapa foto cantiknya.

Memasuki waktu magrib kami pun turun menapaki tangga, sambil sesekali melepas pandangan ke arah pantai yang tak kehilangan pesonanya. Nun di sana tampak puluhan perahu nelayan dengan kerlap-kerlip indah seolah hendak mengatakan bahwa mereka siap bertempur dengan nyala semangat, memasuki ganasnya lautan untuk menangkap ikan pada malam hari. Mobil lantas membawa kami merapat ke Tanjung Papuma, yakni resort di bawah Perhutani, tempat kami bermalam pada hari pertama.

Jaraknya sangat dekat dengan Pantai Papuma, bisa ditempuh cukup dengan jalan kaki. Tak heran jika kami bergerak ke pantai selepas Subuh esok paginya. Seperti nama kamar yang saya tempati, Rimba, lokasi resort memang berada di antara pepohonan tinggi dengan lingkungan yang masih alami. Jadi tak perlu terkejut kalau tiba-tiba muncul monyet ekor panjang di depan kamar kita seperti yang dialami Mak Uniek dan Nia asal Semarang.

Makaka, yang namanya saya ketahui dari Rizal, memiliki badan yang tegap dan ekor yang panjang. Minggu pagi ketika menunggu teman-teman berkumpul di depan, beberapa ekor makaka tampak berjalan tegap di depan aula, tak jauh dari lobi resort. Mereka tampaknya dibiarkan hidup harmonis di pohon-pohon besar nan tinggi sebagai habitat alami mereka.

Bingung memilih
Udang lemon, segar dan lezat.

Selepas mandi dan sholat, saya dan Dito teman sekamar beringsut ke Ever Green Papuma yaitu restoran yang menjamu kami malam itu. Menunya sungguh sangat menggoyang lidah, terutama ikan bakar dan udang lemon yang nikmat banget. Tak heran kalau Hanum sampai nambah saking enaknya sajian makan malam kami. Saya pun pengin nambah tapi malu, ahaha. Selesai makan, datangnya tim bloger dari Semarang yaitu Uniek, Nia, dan Dini plus Noorma asal Pekalongan. Nia dan Uniek pernah kujumpai di Pekalongan pada acara serupa dua tahun lalu, sedangkan Dini baru kukenal.

Makan sudah, dihibur penyanyi electone sudah, saatnya acara formal. Ya sejatinya enggak terlalu formal sih. Pak Anas Ma’ruf, kepala Dispar Jember, membuka dan menyambut kami dengan penuh keakraban. Beliau membocorkan seputar event utama yakni Waton yang akan digelar hari Minggu pagi. Setelah dikejutkan dengan kenyataan bahwa Pak Anas ternyata ulang tahun itu, kami maju untuk berkenalan satu per satu.

Walau sebagian ada yang kukenal, tapi banyak pula yang belum kuketahui sebelumnya. Senang sekali Jember mempersatukan kami dalam persahabatan baru yang mengasyikkan. Ipul, Achi, Babang, Hanum adalah nama baru bagiku. Peserta lain, Mbak Donna Imelda, pernah kujumpai pada sebuah acara di Bandung Maret silam, dan Buncha alias Bunda Elisa juga ketemu di acara Pekalongan yang tadi kusebutkan.

Luar biasa sambutan dinas terkait untuk kami para bloger dalam acara Sueger Famtrip 2019 atau familiarization trip guna mengenal potensi Jember sebagai kota pendatang karena ia tak punya penduduk pribumi. Kami tidur dengan mendengkur. Terkapar karena bebas dari rasa lapar. Terharu karena demikian bagus dijamu. Tak sabar menanti petualangan esok pagi. Bukan hanya menyaksikan nelayan yang merapat ke pantai, tapi juga parade para bajingan yang dilegalkan oleh pemda dan bahkan diperbolehkan beraksi dalam sebuah perlombaan.

Bagaimana kisah pertemuan saya dengan Ibu Rom salah seorang penunggu nelayan yang pagi itu meraup ikan cukup banyak dan bahkan mendapatkan ikan perka yang dibakar langsung tanpa bumbu. Tahukah BBC Mania berapa harga jual seember ikan perka sebelum dimasak menjadi ikan pindang? Ada juga pertemuan singkat saya dengan belasan mahasiswa asal Cina yang ternyata menyukai nasi kuning pada acara kembul bujana. Nantikan tulisan bagian kedua ya. Tangan saya capai karena habis mencuci pagi ini, haha. Apalagi tulisan ini sudah melebihi 1.000 kata termasuk judulnya menurut data Microsoft Word.

Hoopla!  

Advertisement

10 Comments

  1. malu2 mau nambah makan, tau gtu bawa tupperware dari rumah *emak2bangetdeh hahahahaha…. btw.. aku tau tentang papuma ini dari tante aku yg tinggal di sidoarjo, dia share foto2nya di papuma, nanya doi kan ini dimana??? sungguh bagus bgt pemandangannya, pake kamera biasa aja hasilnya udah cakep bgt, apalagi foto2 yg ada di blog ini bikin laper #eh hahahahaha…

    Like

  2. Aku juga sebenarnya melahirkan puisi kala itu, 😊😊 inspirasinya bukan dari nyanyian ombak tetapi dari gelak tawa kita semua,
    Keluarga besar Sueger Fantrip 2019 😊

    Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s