Dasar Orang Kaya, Hobinya Pamer Harta!

Dasar orang kaya, sukanya pamer harta mentang-mentang banyak uang dan barang. Dasar orang sugih, enggak punya welas asih sama orang yang membutuhkan. Mentang-mentang duitnya berlimpah dan kendaraan mewah, mereka tak jarang semena-mena. Tak peduli tetangga sengsara, tak peduli orang di sekitar kelaparan dan hidup menderita, orang-orang kaya malah asyik jalan-jalan menghamburkan uang.

Atas nama ibadah, mereka berbondong-bondong ke Baitullah untuk melepas kerinduan pada Ka’bah. Katanya. Entah berapa kali ibadah umrah ditunaikan, foto-fotonya berseliweran di linimasa social media, yang menegaskan mereka egois dan tak paham arti ibadah sesungguhnya.

Pamer belaka, itulah yang mereka tampilkan. Bahwa mereka punya banyak uang dan oleh karena itu layak mendapat tepuk tangan sebagai bagian dari anggota masyarakat yang sukses. Tak ada esensi ibadah sejati selain kepongahan yang dibungkus oleh kerinduan palsu kepada Ka’bah. Bukankah Allah dan Rasul lebih merindukan orang kaya yang rajin bersedekah, bukan mereka yang wira-wiri ke Mekah sekadar memamerkan keunggulan ekonomi belaka?

Syak wasangka dan intervensi ibadah

Itulah kesimpulan yang bisa saya petik dari caption yang menyertai foto berikut ini. Bahwa orang-orang (kaya) yang selama ini bolak-balik umrah ke Tanah Suci hanyalah kedok ibadah padahal sejatinya murni menunjukkan kelebihan harta saja. Saya sepakat bahwa orang dhuafa, fakir atau miskin–sebagaimana yang kita lihat dalam foto ini–harus kita bantu dan berdayakan untuk bisa hidup layak dan mandiri.

Namun, saya tak sependapat jika orang kaya yang sering melaksanakan ibadah umrah disebut sedang pamer belaka. Caption pada gambar di atas sejujurnya mengajak pembaca untuk berempati dan menolong kaum dhuafa, tetapi disampaikan dengan sangat gegabah.

Pertama, penggunaan frasa ‘pamer harta‘ adalah sebuah syak wasangka alias kecurigaan yang sulit dicari pembenarannya. Bahwa ada orang kaya yang bolak-balik umrah, itu adalah fakta. Namun apakah mereka sedang pamer atau tidak, itu merupakan wilayah privat yang tak mungkin bisa kita jangkau. Esoterik, mungkin begitu bahasa dalam filsafat.

Kalimat ini seolah menggeneralisasi bahwa siapa pun yang berulang kali ke Tanah Suci untuk melaksanakan umrah sebenarnya digerakkan oleh impuls pamer, bukan oleh energi ibadah murni. Padahal orang yang sering umrah belum tentu kaya loh, karena para ustaz atau pembimbing umrah juga berpuluh kali ke Mekah demi mendampingi jemaah umrah.

90% menyangkal

Saya pun tergoda membagikan foto ‘kontroversial’ tadi di beranda Facebook lalu meminta pendapat para teman di sana. Kebanyakan tidak setuju bahwa orang yang bolak-balik ke Mekah untuk umrah harus disebut pamer. Mereka rata-rata punya pengalaman atau pernah mengenal orang kaya yang rajin bersedekah walaupun sering umrah. Pakde Cholik, bloger gaek asal Jombang menyatakan dengan bahasa yang lugas tentang ketidaksetujuannya dengan caption.

Tak jarang malah orang-orang kaya itu justru memberangkatkan karyawan atau orang-orang tak mampu untuk turut serta ke Mekah. Saya pun mengenal seorang saudagar kaya di kota kami yang kebetulan menjadi donatur utama NBC (Nasi Bungkus Community). Rumahnya kami manfaatkan sebagai basecamp NBC hingga kini.

Pasutri ini keranjingan sedekah atau membantu kaum dhuafa, baik teman ataupun keluarga. Pernah tetangga yang anaknya hafal Al-Quran pun diberangkatkan umrah bersama-sama: seluruh anggota keluarga anak itu ikut! Belum lagi aksi donasi yang tak saya ketahui dan tidak perlu saya ketahui karena bukan urusan saya.

Jadi, tidak bijak kalau kita menghakimi orang sebagai pamer atau tak ikhlas dari penampilan fisik yang kita lihat. Bukan domain kita untuk menakar kadar kesalehan atau keikhlasan orang lain melalui parameter visual yang seolah-olah bisa kita andalkan. Jangan karena kita belum kaya atau pernah bermasalah dengan orang kaya songong, lantas kita menempatkan mereka sebagai antagonis dalam spektrum ibadah.

Alih-alih asyik menilai atau menuduh orang lain pamer lewat ibadah, lebih produktif jika kita menyibukkan diri dengan sedekah sesuai kemampuan atau zakat untuk membantu meringankan beban orang lain. Menelaah dan mengevaluasi diri sendiri jauh lebih bermanfaat. Kita bisa memberikan kontribusi dari hal apa pun yang kita miliki atau kuasai.

Oh, sungguh berbahaya!

15 Comments

  1. Setuju pakai banget, pas sampai di bagian ini :

    “… bukan domain kita untuk menakar kadar kesalehan atau keikhlasan orang lain melalui parameter visual yang seolah-olah bisa kita andalkan. Jangan karena kita belum kaya atau pernah bermasalah dengan orang kaya songong, lantas kita menempatkan mereka sebagai antagonis dalam spektrum ibadah.”

    Yup, sekali lagi, memang bukan domain kita!

    Self reminder untukku juga ne 🙂

    ~ annarosanna(dot)com ~

    Liked by 1 person

  2. Yang suka umroh itu ibadah dan ibadah itu baik
    Yang suka sedekah gak sampek berangkat umroh ya baik

    Yang gak baik itu yang ngomongin orang umroh tapi dianya sendiri gak sedekah. Bukan hanya gak baik tapi juga ra mashok blas.

    Like

    1. Benar sekali, Mas. Banyak banget bentuk ibadah, sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing orang. Daripada menuduh orang pamer atau enggak ikhlas, lebih baik sibuk berbuat baik ya Mas.

      Like

  3. Alhamdulillah tulisan yang bagus pak. Lagi-lagi efek samping dari medsos ya, tiap melakukan sesuatu posting, melakukan ini posting dan yang mengamati postingan entah apa yang dipikirannya,,jadi terselip syak wasangka yang membuat gelisah. Kadang merindukan masa-masa saat dunia tanpa medsos, kayaknya lebih nyaman yaa. Kembali ke topik pak Rudi, medsos menciptakan jurang perbedaan yang semakin besar antara yang mampu dan kurang mampu. Ada ga ya gerakan menengok sekitar kita, terutama yang kurang mampu?

    Like

    1. Begitulah, medsos mendorong kita untuk cenderung mudah menghakimi tindakan orang lain. Saya yakin masih banyak kok yang menengok dan peduli kehidupan di sekeliling. Mungkin saja tidak banyak terekspos oleh media sosial.

      Like

Tinggalkan jejak