Memajukan Indonesia dengan Literasi, Merayakan Kebahagiaan dengan Kolaborasi

Bukan kebetulan kami mendirikan Saung Literasi begitu pindah dari Bogor dan menetap di Lamongan. Kecintaan saya dan istri pada dunia buku bukan karena sensasi kenikmatan yang tidak kami peroleh dari bidang lain, tetapi juga lantaran kami boleh dibilang “diselamatkan” oleh literasi.

Setelah resign dari pekerjaan kantoran sebagai editor buku di sebuah penerbit di Depok, saya memutuskan bekerja sebagai full-time freelancer. Ganjil ya frasa full-time freelancer? Haha. Ya intinya saya bekerja penuh waktu di rumah dengan mengerjakan apa saja secara lepas. Saya mengambil keputusan ini karena tak mungkin lagi bekerja 8 jam sehari akibat infeksi saluran kemih. Saya jadi mudah letih sehinggga sulit mengikuti ritme kerja yang rapi.

Molor dan tekor

Sesekali saya menerima order penyuntingan dari kantor lama, sambil menjajal bidang penerjemahan yang sebenarnya cukup menjanjikan walau pemasukan tak kontinu. Kendalanya bukan hanya honor yang molor, tapi juga pembayaran yang tidak tuntas. Ini pernah terjadi waktu saya membantu menyunting bahasa untuk tesis seorang mahasiswa di Swedia. Ya sudahlah, saya ikhlaskan walau boleh dikata saya harus tekor saat itu.

Selepas kelahiran si bungsu, seorang sahabat dari kantor lama mendorong saya agar kembali melirik blogging. Saya sudah mulai ngeblog sejak bekerja tahun 2006 tapi vakum hingga 2011. Sejak pindah ke platform baru atas ajakan sahabat itulah saya mulai menemukan blog sebagai jalan rezeki. Sebut saja jalan literasi.

Jalan itu terbangun lewat networking dengan sejumlah bloger yang lebih dahulu ngeblog. Pertemanan yang meluas membuat saya bertambah informasi tentang potensi blog sebagai pendulang cuan. Kala itu sponsored post belum semasif saat ini, hanya lomba blog yang muncul sebagai peluang dan kemudian saya pilih. Banyak lomba blog yang saya ikuti, tapi tak satu pun keluar sebagai jawara bahkan untuk urutan buncit sekalipun.

Rezeki lewat resensi

Pendar harapan membuncah tahun 2013 saat saya hampir menyerah. Bulan September saya berhasil menggondol sebuah smartphone canggih dari lomba menulis resensi novel “Labirin Rasa“. Sungguh menyenangkan walau jelas kemenangan itu di luar dugaan.

Bulan berikutnya saya memenangi lomba menulis berdasarkan book trailer dengan imbalan smartphone sama persis seperti hadiah lomba sebelumnya. Untuk mendapatkan tulisan yang matang, saya putuskan membeli bukunya (walau tak diwajibkan) lalu meramu isi bukunya dalam bentuk resensi yang cair. Juri menyukainya dan saya mensyukurinya. Alhamdulillah saya kembali menang.

Dari sini saya perlahan mencurigai jangan-jangan saya memang berjodoh dengan buku. Sebab cipratan rezeki rasanya lebih cenderung saya raup dari ulasan buku. Kata anak zaman now, literasi menjadi jalan ninjaku untuk memetik rezeki.  

Memang begitulah yang terjadi kemudian. Pada kesempatan berikutnya, tahun 2015 saya berhasil meraih smartphone lagi sebagai hadiah mengulas buku “Passport to Happiness” karya Ollie, bloger senior sekaligus penulis yang kini menggeluti perusahan rintisan berbasis teknologi.

Masih dari dunia literasi, tahun 2016 saya mendapat berkah berupa kamera digital setelah mengulas buku bertema tambang yang diterbitkan oleh Mizan group. Tahun 2017 ada buku lain yang memberi saya hadiah yakni buku bertema wisata halal, hanya saja kali ini apresiasinya berupa uang tunai.

Di sela-sela update konten blog secara rutin dan aktif ikut blogging competition, saya mendapat kesempatan menulis ulasan buku pada sebuah penerbit. Editor in-house biasanya mengirimi saya judul buku berbahasa Inggris untuk saya baca dan timbang apakah layak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. Komentar harus saya kirim dalam bentuk tulisan dan untuk bisa mewujudkan hal ini saya tentu harus membacanya terlebih dahulu.

Sekelumit pengalaman yang saya kisahkan ini seolah hendak mengonfirmasi betapa literasi—lewat buku-buku yang saya resensi—telah membuka pintu peluang yang tak terpikirkan sebelumnya. Saya sempat terpukul lantaran kehilangan kesempatan menjadi editor lepas di suatu perusahaan Jepang di Jakarta yang mengharuskan saya sering ke kantor walau tidak setiap hari. Namun berkah literasi telah mendobrak keterkungkungan perspektif mengenai gengsi dan esensi.

Gengsi versus esensi

Saya jadi teringat betapa dalam banyak kesempatan Muhammad Suherman yang akrab disapa Kang Maman menegaskan pentingnya Iqra atau membaca. Berkat keterampilan membaca buku lalu mengulasnya secara tertulis, saya jadi menemukan kanal rezeki di luar ekspektasi. Dalam konteks ini, buku bukan hanya menjadi bagian dari kebudayaan, tapi juga sarana yang membuat hidup saya semakin produktif. Mendukung dan melestarikan lingkaran kreatif yang saya butuhkan. 

Membaca dan mengulas buku boleh jadi hanya bagian kecil dari literasi, tetapi berawal dari membacalah kesadaran bisa dibangun dan kemajuan dimungkinkan. Dalam sebuah IG Live persembahan JNEWS Jumat 10 Desember 2021 Kang Maman berseloroh, “Karena itu saya lebih mengisi kepala saya dengan pikiran daripada dengan rambut.” Kalimat spontan itu segera disambut dengan tawa Dara Nasution yang sore itu didapuk sebagai bintang tamu.

Kendati disampaikan dengan nada kelakar, saya menangkap kebenaran satiris dalam ucapan Kang Maman. Kalimat itu meluncur untuk merespons Dara yang mengingatkan pentingnya banyak membaca buku agar bisa melahirkan tulisan yang berbobot. Dara mengingat pesan dosennya bahwa kebuntuan ide menandakan kurangnya isi dalam kepala yang bisa diatasi dengan memperbanyak bacaan.

Ucapan Kang Maman soal rambut dan pikiran boleh jadi ekspresi jujur untuk membela kepalanya yang selalu plontos akibat kebotakan, tepat seperti yang saya juga alami. Bedanya, Kang Maman selalu tampil percaya diri dengan kepala botak sementara saya kerap menyembunyikan kebotakan dengan menutup kepala menggunakan kupluk atau topi.

Tentang hal ini, istri saya sering berujar sambil terkekeh, “Kamu kayak perpaduan Kang Maman sama Andy F. Noya!” Sewaktu plontos, saya konon mirip Kang Maman dan waktu pakai kupluk beanie saya seolah menyaru founder BenihBaik.com itu.

Pilihan menumbuhkan rambut atau tidak rupanya menyiratkan makna mendalam jika mau direnungkan. Dalam konteks estetika, rambut selama ini dikenal sebagai mahkota kehidupan, terutama bagi para wanita. Dengan begitu rambut menjadi simbol pesona fisik yang layak dirawat dengan sepenuh hati. Rambut lebat dan indah bisa memijarkan kepercayaan diri pemiliknya, demikian juga sebaliknya.

Sementara p(em)ikiran yang berkelindan dalam otak menjadi pesona nonfisik sebagai value sejati manusia yang beradab. Memang menyenangkan punya pesona luar dalam, tapi jika harus memilih, inner beauty (pikiran)-lah yang mesti kita prioritaskan. Pikiran mencerminkan konten, ide, aspirasi, juga kehati-hatian sementara rambut menggambarkan wadah yang tak selalu signifikan.

Boleh jadi pertaruhan manusia modern saat ini—di tengah gencarnya media sosial yang serbapraktis—adalah mempertahankan keseimbangan antara container dan content, antara gengsi dan esensi, yang digambarkan oleh “rambut” dan “pikiran” menurut Kang Maman.

Dengan memperbanyak bacaan yang beragam, isi kepala akan berantem sendiri, memicu proses dialektis yakni dialog antara pemikiran-pemikiran berseberangan dalam merespons sebuah masalah. Inilah salah satu basis literasi yang wajib dijaga pijarnya. Literasi sejati mendorong kita untuk banyak membaca dari sumber-sumber dengan perspektif yang berbeda agar punya kesanggupan untuk tidak gampang menghakimi perbedaan. 

Maju dengan literasi

Maka secara pribadi saya dan istri merasa terselamatkan berkat literasi. Bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga dari jebakan prasangka yang berkelindan terutama di era medsos saat ini. Alih-alih FOMO (Fear of Missing Out), kini kami semakin menikmati JOMO (Joy of Missing Out). Dengan spirit literasi, misalnya, kami tak tergoda untuk memborbardir grup-grup WhatsApp dengan pesan provokatif yang berpotensi memperkeruh kondisi sosial.  

Lewat literasi pula kami merasa utuh sebagai manusia. Saya pribadi merasa sangat bugar ketika belajar dan membaca buku bersama anak-anak di Saung Literasi seolah semua beban hidup dan rasa sakit lenyap walau sekejap. Dalam buku dan aktivitas literasilah kami punya kepercayaan diri sepenuhnya dan eksis tanpa pretensi. Mungkin tepat seperti salah satu judul buku Kang Maman “Aku Menulis Maka Aku Ada” yang menyiratkan optimisme dan keyakinan.

Ini sejalan dengan pendapat Dara Nasution yang mantap mengatakan bahwa literasi yang kokoh harus dibangun oleh aktivitas membaca dan menulis yang seimbang. Membaca tidak bisa dipisahkan dari menulis sebab tanpa bacaan memadai tulisan akan dangkal dan menjemukan. Penulis yang baik harus mau melahap sumber-sumber yang berbeda dan bahkan bertentangan sebagaimana yang Dara akui saat memperkaya perspektif mengenai feminisme dari berbagai mazhab pemikiran.

Semua itu, lanjut Dara, “… butuh kerendahan hati untuk kita mencari bahan yang enggak sesuai dengan apa yang kita setujui.”

Mengamini Dara, Kang Maman mengingatkan soal mindset gelas kosong yang mencerminkan kerendahan hati. Dengan sikap ini kita bisa menerima aneka pemikiran yang berbeda bahkan yang berseberangan dengan apa yang kita yakini.

Keragaman sumber itu akan memecah kebuntuan ide karena menjadi pemasok bahan yang kaya dengan data atau hasil riset. Dengan outline yang rapi, masih menurut Kang Maman, bahan-bahan tersebut bisa diolah menjadi tulisan ciamik dengan elaborasi yang memikat.

Tulisan akan semakin kuat jika tema yang digarap adalah topik yang kita sukai, sebagaimana Dara yang menggeluti isu-isu politik, kesetaraan gender, dan kepemudaan. Penguasaan bahan membuat pembahasan mengalir dengan luwes tanpa kita takut menyatakan pendapat dan mengambil kesimpulan yang mungkin berbeda dengan perspektif orang lain.

Dengan fondasi literasi seperti itu, kita patut optimistis bahwa literasi akan mampu memajukan Indonesia atau dalam bahasa Najeela Shihab, literasi yang mampu menggerakkan negeri. Kata ‘gerak’ menegaskan adanya upaya sengaja untuk menciptakan perubahan. Salah satu upaya positifnya adalah kewaspadaan dalam merespons karut-marut kondisi saat ini yang sarat dengan kabar palsu atau hoaks.

Saya seketika teringat pada salah satu bait dalam Serat Kalatidha yang sedang saya baca belakangan ini sebagai bahan untuk menulis di blog khusus tentang bahasa Jawa. Pada bait ke-5, Raden Ngabehi Ranggawarsita yang sangat kondang itu menulis:

mengkono yen niteni | pedah apa mituhu | pawarta lalawara | mundak angreranta ati | anggur baya ngiketa | cariteng kuna

R. N. Ranggawarsita

Fragmen tersebut kira-kira memperingatkan kita bahwa tak ada gunanya memercayai desas-desus atau hoaks sebab berita palsu, apalagi yang provokatif, hanya akan memicu sakit hati. Sebagai solusi, kita lebih baik memperbanyak karya dengan berkaca atau belajar dari sejarah atau kisah masa lalu. Kita, misalnya, punya tokoh-tokoh negara yang luar biasa seperti Mohammad Hatta atau Buya Hamka.

Baik Hatta maupun Hamka adalah sosok yang rakus bacaan sehingga tak heran keduanya menjadi penulis ulung. Begitu karibnya dengan buku, Bung Hatta kita kenal pernah berujar, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku.” Sedangkan Hamka sukses melahirkan salah satu mahakaryanya yakni Tafsir Al-Azhar berkat ditemani buku-bukunya yang diboyong dari rumah ke bilik penjara. 

Selain itu, Hatta bahkan secara spesifik memberikan panduan tentang cara memperlakukan buku. Beliau bisa marah kalau kita mencoret-coret atau mengotori halaman buku dengan stabilo. Sebaliknya, buatlah reading record untuk mencatat poin-poin penting atau ringkasan buku yang sudah kita baca. Saya pribadi mengikuti teknik ini dan sangat merasakan manfaatnya.

Lewat aktivitas membuat catatan, saya bukan hanya merawat kemampuan motorik halus menggunakan pensil/pulpen tetapi juga menyuntikkan pesan ke dalam otak agar tersimpan sebagai memori penting yang bisa dipanggil kembali saat saya butuhkan. Saya semakin bersemangat sebab kerap menerima bloknot gratis dari berbagai acara blogging. Sebut saja ini cara win-win solution untuk menahan laju sampah sambil mengawetkan pemikiran dalam bentuk tulisan.

Memperkuat kolaborasi

Akhirnya, kebahagiaan berliterasi mesti dirayakan dengan kekuatan kolaborasi. Saya teringat ucapan Kang Maman dalam sebuah webinar tentang betapa luar biasanya hasil kolaborasinya dengan seorang ilustrator muda yang membuat karyanya semakin hidup. Belum lagi kolaborasi Kang Maman dengan Mice yang melahirkan buku “Bahagia Bersama” yang laris dan telah mengalami cetak ulang.

“Bahagia Bersama”, persembahan JNE untuk Indonesia

Kolaborasi memang menjadi kunci kemajuan pada abad ke-21, lebih-lebih di era Industri 4.0 ketika semua serbaterkoneksi. Di mana-mana digaungkan mendesaknya penguasaan 4C yang meliputi communication, collaboration, critical thinking, dan creativity. Keempat keterampilan ini bisa menjadi landasan literasi dan memajukan kehidupan pribadi atau masa depan suatu bangsa. Dengan berpikir kritis, misalnya, kita bisa mengikis mitos yang selama ini merugikan kaum perempuan.

Mereka kerap dikesankan dengan 5P yaitu:

  1. Pinggan yang berarti urusan dapur atau memasak padahal faktanya chef lebih banyak lelaki;
  2. Pigura: perempuan harus tampil dengan menawan ibarat pigura yang walau lukisannya biasa saja tapi bingkainya mesti bagus dan terlihat mahal;
  3. Peraduan: perempuan bertugas melayani pasangan di atas ranjang padahal keduanya sebenarnya saling melengkapi;
  4. Pergaulan: dunia gosip dilekatkan pada perempuan sehingga televisi di rumah dipenuhi acara infotainment padahal tak ada makhluk di muka bumi ini yang lebih produktif ketimbang perempuan;
  5. Pilar: karakter kelima inilah yang sering disembunyikan yaitu bahwa perempuan sebetulnya mampu menjadi pilar; mereka terbukti tangguh dan bisa menopang keluarga dan bangsa.

Sebut saja Ratna Refida, sarjana ekonomi asal Lombok yang berhasil menggerakkan penduduk setempat untuk bisa membangun rumah dan kandang. Ya betul, memang kandang, sebab binatang yang dipelihara dalam kandang itulah yang akan mencukupi kehidupan orang-orang miskin di tempat tinggalnya. Lalu dibuatlah kredit pembelian rumah yang dibagi menjadi dua: satu untuk bahan bangunan dan satu untuk pembelian kerbau.

Konsep yang digagasnya berhasil membangun 32 rumah pertama di Menur, Lombok tahun 1996 di mana kerbau dan kambing akhirnya mampu menopang ekonomi warga setempat guna melunasi utang mereka. Dampak positifnya, orang-orang miskin bisa memiliki rumah sendiri sementara kerbau mereka menghasilkan Rp20.000 per hari dari membajak sawah kala itu. Orang-orang yang semula rendah diri karena miskin dan tidak berpenghasilan kemudian berdiri bangga dan optimistis lantaran punya rumah dan pendapatan secara kontinu. Bukankah ini wujud produktivitas dan kolaborasi yang menginspirasi?

Kolaborasi adalah kunci meraih kesuksesan di era serbadigital. Orang yang berpikir bahwa dia bisa mengerjakan atau menuntaskan semuanya sendirian berarti belum selesai dengan dirinya sendiri sebab hanya akan memaksakan kemampuan dirinya untuk merampungkan banyak hal yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan memanfaatkan kompetensi orang lain. Kolaborasi mengubah pekerjaan berat menjadi lebih ringan dan mempercepat penyelesaian.

Kolaborasi antarpihak, sebagaimana ditunjukkan JNE yang mendukung pengiriman ribuan judul buku dan kitab suci setiap bulan secara cuma-cuma ke seluruh Nusantara, akan membuka pintu peluang menuju kemajuan Indonesia. Sudah bukan masanya membebek data yang menyebutkan bahwa minat baca orang Indonesia rendah sebab faktanya daerah-daerah terpencil masih terus menanti dan menyerap buku untuk dibaca.

Minat baca masyarakat kita sebenarnya tinggi, hanya saja selama ini terkendala oleh sulitnya akses pada buku-buku cetak sementara buku-buku digital pun tak mudah didapatkan akibat keterbatasan peranti keras (gawai), belum lagi listrik dan sumber energi. Jadi tugas kita adalah bagaimana melecut atau menggenjot penyebaran distribusi buku ke seluruh Nusantara melalui kanal-kanal atau komunitas-komunitas yang memungkinkan.

Literasi dimulai dari diri sendiri, lalu dipupuk dalam keluarga. Jika anak tak suka membaca, boleh jadi ia belum menemukan buku yang tepat. Misalnya karena temanya tak sesuai minat atau lantaran bahasa masih terlalu rumit untuk ia pahami. Dan yang lebih penting, mereka sangat mungkin mendambakan teladan atau contoh nyata dan sesekali ingin didampingi agar membaca menjadi pengalaman yang mengasyikkan.

Saya dan istri berusaha menjelaskan kepada duo bocah kami bahwa tak ada ruginya membaca, bahkan sebaliknya sangat menguntungkan. Bukan cuma bertambah pengetahuan dan menjadi sarana hiburan, buku bacaan juga terbukti menambah kosakata dan meningkatkan kepercayaan diri mereka di lingkaran sosial seperti sekolah.

Dengan sering membaca, kini si sulung kian rajin menuliskan setiap pengalaman dalam buku diary, salah satunya berlibur ke Surabaya untuk mengunjungi teman barunya beberapa hari lalu. Memang masih banyak yang harus diperbaiki, tapi kegembiraan menulisnya telah membuncahkan kegembiraan kami sebagai orang-orang yang diselamatkan oleh literasi.

Jika anak-anak bisa begitu bersemangat mengabadikan setiap perjalanan dan pengalaman dalam diary, kita sebagai orang dewasa mestinya lebih sigap sebab punya perangkat literatur yang lebih memadai. Bagaimana kalau mentok? “Menulis adalah membaca berulang-ulang,” ujar Dara Nasution yang dibenarkan Kang Maman sebagaimana ia tulis dalam bukunya “Aku Menulis Maka Aku Ada”.

Bacaan berlimpah adalah jurus jitu untuk menetak kebekuan otak dan mengisi pikiran dengan berbagai bahan agar tercipta riak. Yaitu riak yang saling bertemu lewat resonansi dan vibrasi ide. Saya sendiri merasakan manfaat praktis mengikuti Kelas Inspirasi di beberapa kota yang memungkinkan saya berinteraksi dengan anak-anak SD untuk menularkan virus literasi. Faktanya, sayalah yang memetik inspirasi, bukan sebaliknya, sebab mereka ibarat buku yang tak habis dibaca.

Sering kali Kelas Inspirasi adalah momen menimba inspirasi, bukan sebaliknya.

Kelas Inspirasi adalah cara saya membayar privilese yang selama ini saya dapatkan dari dunia literasi sehingga kami sekeluarga tumbuh dengan penuh rasa syukur dan menghikmati setiap perjalanan sebagai momentum untuk belajar dan merawat pijar nalar. Bagaimana dengan Anda?

35 Comments

  1. Melihat foto terakhir kok sependapat saya sama Istri Mas Rudi, kalau plotos mirip Kang Maman, kalau pakai kupluk kayak Bang Andy F. Noya:)
    Artikel yang lengkaaap dan menarik. Salut untuk keberanian memilih jalan rezeki dari literasi. Semoga berkah dan mudah.
    Salut juga buat kolaborasi antarpihak, termasuk JNE yang mendukung pengiriman ribuan buku dan kitab suci setiap bulan secara cuma-cuma ke seluruh Nusantara
    Semoga jadi salah satu upaya yang membuka pintu peluang menuju kemajuan Indonesia.

    Liked by 1 person

    1. Betul, Kak. Banyak cara untuk mendorong anak agar suka membaca dan memasuki gerbang literasi. Baca pakai gawai pun asyik asal tahu caranya. Namun baca buku cetak memang tak tergantikan sih, apalagi buku baru. 🙂

      Like

  2. Emang harus ada orang yang berani hidupkan literasi di lingkungan kita sendiri.
    keren deh bisa membangun dunia literasi di tempat mas rudi saat ini.

    Karena kita tahu bahwa dunia literasi di Indonesia jauh tertinggal dari negara lain.

    Semoga pekerjaan ini menjadi ladang amal kita diakherat nanti. dan anak2 menjadi rajin membaca dan dapat berkreasi dengan bidang yg dia sukai.

    Liked by 1 person

  3. Cinta buku, senang membaca dan menulis idealnya diperkenalnya sejak anak2 masih kecil. Literasi mesti dipupuk ga asal-asalan mapun instan karena sejatinya hobi atau kesukaan kita terhadap buku mesti dari hati dan merasa bahagia tentunya yach, Mas Rudi. Hebat nih kolaborasi JNE dan berbagai pihak telah membantu memajukan literasi di negara kita. Mantap.

    Liked by 1 person

    1. Bisa kita mulai dari keluarga kok, Teh. Beli buku toh sekarang semakin mudah, waktu pandemi tinggal masuk ke Shopee atau Tokopedia. Buku nyampe deh pakai jas JNE hehe.

      Like

  4. Gatau ya setiap kali baca tentang quote kang Maman atau buku kang Maman tu kaya banyak kata2 ajaib yang mengena di hati, selalu menemukan oh iya ya, ada benarnya juga dan saya jadi sering sependapat sm beliau terutama soal literasi

    Liked by 1 person

  5. Literasi memang harus digalakkan di lingkungan sekitra, baik dari diri sendiri, keluarga, ataupun masyarakat. Budaya literasi yang tinggi akan menyelamatkan banyak keadaan agar tidak tambah terpuruk.

    Liked by 1 person

    1. Betul, Kak Rindang. Dengan literasi kita bisa maju sebagai negara yang besar karena warganya melek informasi dan tidak cepat termakan provokasi murahan yang mengancam disintegrasi.

      Like

  6. Langkah yang baik untuk menyebarkan dunia literasi apalagi untuk generasi A.
    MashaAllah~
    Perjalanan ini semoga membawa ke dalam pengabdian terhadap literasi untuk anak bangsa yang lebih baik.
    Terus menulis dan menyebarkan kebaikan, Mas Rudi.

    Like

  7. Aku selalu senang tiap baca quotes-quotes kang maman. salah satu yg selalu aku ingat soal bahan tulisan akan selalu ada.
    boong kalau aku ga merasa iri liat Mas Rudi menularkan literasi seperti ini. impian aku dari dulu punya perpustakaan. bahkan untuk project wirasusaha tugas kuliah pun aku memilih membuka toko buku yang menawarkan kenyamanan untuk bisa baca di tempat. tapi bebeapa tahun terakhir aku malah makin ga sanggup untuk rajin baca, boro-boro nularin orang. semangat terus ya, Mas

    Like

    1. Ayo, Mbak Dian, wujudkan toko buku impian yang menawarkan kenyamanan untuk para pembaca sehingga orang awam akan makin tertarik untuk membaca buku. Siapa tahu dengan buka toko buku plus kedai seperti itu akan kian banyak gerakan serupa di tempat-tempat lain.

      Like

  8. Ealaahh aku kangen banget ikutan Kelas Inspirasi! Dulu sempet nulis buat majalah anak-anak dan hasil tulisanku kujadikan contoh untuk menginspirasi anak-anak di sana, yang siapa tahu kepengin jadi penulis. Seneng banget yaaa kalau banyak yang gerak bareng di bidang literasi kayak gini 😀

    Like

    1. Ayo, Kak, ikut Kelas Inspirasi lagi yuk! Beberapa kota sudah mulai membuka registrasi relawan, kangen banget kan ketemu anak-anak superceria di berbagai daerah? Kalau banyak yang bergerak, tujuan besar bisa cepat terwujud.

      Like

  9. Keren sekali nih tulisan Bung Rudi. Memang bener deh yaaa… banyak membaca memberikan banyak berkah, terutama bagi yang serius dalam menekuni dunia literasi gini. jadi ingat nih kalau udah mulai jarang membaca lagi. Artikel ini sungguh melecut diriku untuk kembali banyak membaca kembali.

    Like

  10. Masya Allah, baca tulisan ini bikin pikiran & insight saya yg mulai melempem thd literasi menjadi lebih terpacu nih. Ada beberapa buku yg belum selesai dibaca nih, saya mau mulai lagi deh utk menyelesaikan buku2 tsb. Semangat terus para pejuang literasi!

    Like

    1. Ayo, Kak. Semangat tuntaskan buku yang masih tertunda. Sayang loh sudah dibaca tapi tidak tuntas dibaca sementara di luar sana banyak yang pengin baca tapi tidak punya sumber daya.

      Like

  11. sudah sepatutnya mmg anak anak sedsri diri ditanamkan sikap untuk suka membaca. kadang suka kasian liat anak2 sekarang lebih suka main gadget daripada membaca. padahal membaca adalah jendela dunia. nice review and insight masss

    Like

  12. Alhamdulillah dari literasi dapat cuan ya om. Sekeluarga juga jadi seru, karena sama2 suka baca. Hmmm.. baca postingan ini jadi pengen rajin baca dan nulis juga nih. Kali aja menang lomba juga. Hehe.

    Like

  13. Bener banget mengulas topik dari apa yang kita sukai itu bisa jadi sangat kaya sekali dengan informasi dan inspirasi. Rasanya menulis atau membaca jadi lebih menyenangkan dan rasa keingintahuan yang lebih dalam itu bisa memuncak drastis.

    Like

Leave a reply to Rudi G. Aswan Cancel reply