Beberapa waktu lalu seorang teman bloger asal Bandung mengunggah status di linimasa Facebook tentang tergoleknya seorang bloger lain di rumah sakit akibat serangan stroke mendadak. Patut diduga, sobat tersebut mengajak para teman dan follower di FB untuk turut berdonasi demi meringankan beban keluarga yang tengah ditimpa musibah. Sebuah tindakan mulia dan salah satu kualitas narablog sebagaimana pernah saya singgung di sini.
Saya tak hendak menyoroti banyaknya perhatian dan kepedulian rekan sesama bloger kepada bloger Bogor yang sedang diuji dengan sakit itu. Sebagai bloger senior yang gemar berbagi ilmu kepada siapa saja, wajarlah jika beliau mendapat respons dan dukungan yang besar. Dalam tulisan kali ini saya tertarik membahas frasa ‘keluasan rezeki’ yang dipakai bloger Bandung tadi.
kurang bertenaga
Tak ada yang salah dengan kehadiran frasa yang telah menjadi idiom publik dalam komunikasi sehari-hari. Kita mungkin sering membaca, mendengar, bahkan menggunakan dua kata tersebut yang merujuk pada kondisi kelebihan rezeki—biasanya kita tafsirkan dengan uang. Saya pribadi berpendapat keluasan rezeki kini kurang efektif untuk mengajak orang berbuat baik dalam mendukung sebuah isu atau cause. Pengertiannya terlalu lembut sebab pesan diserahkan sepenuhnya kepada lawan bicara untuk mengambil keputusan.
Maksud saya begini: hari gini siapa sih yang segera lantang menjawab bahwa dia dilimpahi harta berlebih saat dimintai pertolongan—terutama dalam bentuk uang? Ekonomi semakin sulit, kebutuhan kian berat terpenuhi, dan banyak keinginan yang harus dikorbankan; masih adakah secuil ruang untuk mengaku dengan penuh percaya diri bahwa kita kaya dan sanggup membantu orang lain padahal sebenarnya kita merasa masih kurang?
Saya sendiri pun berat menakar kondisi sendiri ketika dihadapkan pada situasi implikatif macam itu. “Aduh, buat sehari-hari aja udah pas-pasan,” “Ya mau bantu sih, tapi prioritas beli ini dulu deh buat kelengkapan kerja, endebrey endebrey ….” Selusin alasan bisa direnteng untuk menjustifikasi bahwa kita sendiri sedang dalam keadaan lemah dan butuh pertolongan serupa. Kepengecutan saya itu dihantam dengan hadis Nabi yang dipasang Bunda sebagai status WhatsApp-nya hari ini.
Nabi pernah ditanya: “Amal apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yaitu amal yang kalian berikan saat kalian takut akan kemiskinan.”
Rekaman hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ini lamat-lamat diputar kembali saat seorang ustaz berpesan hal yang sama beberapa tahun silam sewaktu kami tinggal di Bogor. Bener banget ucapan Nabi! Fakta di lapangan mengonfirmasi hal ini. Teman-teman saya, baik dari lingkaran bloger maupun sahabat di dunia nyata, bukanlah orang-orang kaya dan berlimpah harta namun mereka selalu bergegas memindahkan apa yang mereka miliki. Entah bergiat dalam komunitas sosial ataupun kegiatan amal ad hoc, mereka tak segan bergerak mengulurkan tangan dan kemampuan mereka—termasuk kemampuan finansial.
Jadi, istilah keluasan rezeki yang lebih sering kita klaim belum kita raih sudah tak relevan dan saatnya kita ganti sesekali atau mungkin selamanya dengan frasa keluasan hati. Orang-orang dengan keluasan hati mampu menyusun definisi kecukupan di luar standar yang orang lain yakini. Mereka tak menunggu kaya untuk bisa berbagi. Mereka tak perlu menanti kelimpahan harta agar bisa berbagi rezeki. Anda bisa temukan contoh-contohnya di sekitar kita tanpa menafikan adanya orang kaya yang juga dermawan. Di Bernas Bogor, misalnya, orang yang aktif bergerak dan berdonasi ya orang itu itu saja.
Saya masih belajar untuk bisa naik level dari perasaan fakir menuju kepercayaan diri sebagai orang berlebih dan oleh karena itu tak ada alasan menunda-nunda pertolongan atau donasi lantaran hati sudah begitu lapang, tak takut miskin, tanpa menunggu keluasan rezeki.
Jika BBC Mania punya keluasan hati, dan saya yakin demikian, sudilah kiranya turut berpartisipasi dalam kegiatan pengadaan air bersih di kota kami. Atau setidak-tidaknya berkenan membagikan informasi ini agar lebih banyak orang yang mengetahui. Atau malah mengadakan acara serupa di tempat Anda. Top!
Aduhai sungguh berat hidup dengan kelangkaan air bersih sebagaimana yang kami rasakan sendiri. Syukurlah kami masih bisa mengaksesnya dalam jumlah terbatas tanpa harus membeli. Keluasan rezeki atau keluasan hati?
Aku suka tulisan ini. Banget! Hahaha.
Seorang temanku yang saat ini jadi motor kelompok relawan Pekalongan Peduli, jauuuuh dari status kaya. Kalau bicara harta, yang dia punya hanyalah sebuah sepeda motor lawas yang ia beli dalam kondisi second hand dan masih butuh diservis ini-itu ya.
Ia juga tidak punya penghasilan tetap. Boro-boro cukup ya, penghasilannya saja tidak tetap karena ia mencari nafkah secara serabutan. Sempat jadi karyawan di salah satu Baitul mal, tapi karena ia rasa jam kerjanya mengganggu keleluasaan pergerakan dalam mengurus aksi sosial ini-itu, ia pilih menganggur lagi. Ia jadi semacam makelar yang mendapat upah dari jasa membantu mengurus/membuat ini-itu. Mulai dari mengkoordinir SIM massal sampai membuat kaos atau tas.
Kaya? Nggak. Untuk operasional saja kadang ia musti pinjam uang kanan-kiri buat beli bensin. Tapi akhir tahun lalu ia bisa merenovasi rumah seorang duafa di Pemalang. Jumat besok ia bakal mentraktir sekurangnya 60 anak yatim di sebuah warung makan top di Kajen.
Jadi, memang betul, ini bukan perkara keluasan rezeki. Keluasan hatilah kuncinya. Sama halnya perintah berhaji ditujukan bagi orang yang MAMPU, bukan yang KAYA.
LikeLike
Nah kan Mas Eko menyaksikan sendiri bukti keluasan hati yang memengaruhi setiap aksi seseorang, yang boleh dibilang jauh dari kondisi kaya. Keyakinan kali ya yang menggerakkan dia, keimanan.
LikeLike
Betul dan setuju, keluasan hati dulu baru keluasan rezeki, karena keluasan, semoga…
LikeLike
Terima kasih, aaamiiin.
LikeLiked by 1 person
Tetep istiqomah ya bang..
LikeLike
Terima kasih, Mas.
LikeLike